Dalam babad Mahabarata ada sebuah lakon terkenal. Judulnya Dewa Ruci. Bima adalah salah satu dari lima anggota keluarga Pandawa. Ia berniat mencari air kehidupan yaitu Tirta Perwitasari. Jika berhasil, Bima akan memiliki kekuatan tak tertandingi. Ini menggiurkan. Kebetulan Pandawa dan Kurawa tengah terlibat pertempuran sengit di Padang Kurusetra. Akan tetapi, untuk memperoleh Tirta Perwitasari bukanlah hal yang mudah. Dari Resi Durna, guru Bima, diketahuilah bahwa air itu ada di samudra terdalam dan dijaga oleh seekor naga raksasa, namanya Nemburnawa. Alih-alih ciut nyalinya, Bima justru tertantang dan segera berangkat menyelami samudera. Dalam kesunyian kedalaman samudera, tiba-tiba Nemburnawa menyerang dan menghempaskan tubuh Bima. Pertempuran sengit keduanya pun tak terhindarkan. Meski kewalahan, Bima berhasil menancapkan Kuku Pancanaka ke dalam tubuh Nemburnawa. Pada akhirnya, naga raksasa itu pun kalah. Suasana pun mendadak sepi. Tiba-tiba munculah sesosok makhluk mungil yang berpenampilan sama persis dengan Bima. Kemudian, makhluk itu pun bertanya,
“Bimasena, putera Pandu Dewanata, apa yang kau cari?”
Bimasena menjawab,
“Apa urusanmu?Bagaimana kau tahu namaku? Aku mencari Tirta Perwitasari, air yang bisa memenangkanku melawan para Kurawa.”
Ia pun berkata,
“Aku adalah Dewa Ruci. Lagipula mengapa engkau mencari air itu? Engkau tidak perlu mencarinya karena air itu telah ada di dalam dirimu. Tirta Perwitasari adalah jati dirimu sendiri.”
Pengalaman Bima mungkin pengalaman kita juga. Pernahkah kita menyadari bahwa hidup yang kita jalani ini mentok? Seketika hidup ini kosong bahkan setelah segala yang yang kita impikan terpenuhi—mengunjungi tempat yang diimpikan, lulus kuliah dengan predikat Cum Laude, gaji kerja yang menjanjikan, dll. Seperti Bima, tiba-tiba kita merasa perlu menemukan Tirta Perwitasari kita, jati diri dan tujuan hidup kita. Sebuah pertanyaan pun terhampar di hadapan kita, “Sebenernya, hidupku yang hanya sekali ini mau kubawa kemana?” Tentu ini bukan pertanyaan yang bisa dijawab sehari-semalam. It really takes forever. Meskipun memusingkan, pertanyaan soal tujuan hidup selalu menjadi pokok yang menggiurkan dan relevan untuk terus menerus kita pertanyakan, bukan?
Kabar baiknya, bukan kita saja yang gamang ketika mempertanyakan kemana hidup ini akan dibawa. Hal serupa dialami pula oleh St.Ignatius Loyola. Dalam riwayat hidupnya, kita tahu bahwa St.Ignasius adalah seorang tentara dengan jabatan bergengsi yang sekaligus loyal kepada rajanya. Akan tetapi, kakinya tertembak meriam di Pamplona. Ignatius pun merasa hidupnya hancur. Karirnya yang dirintis luluh lantak. Ia frustasi dan kehilangan arah. Beruntung, ia menemukan tujuan baru untuk hidupnya. Ia ingin menyerahkan hidupnya dalam pengabdian kepada Tuhan, Sang Raja Abadi. Untuk menemukan jati diri dan semangat hidupnya kembali, kita tahu St.Ignatius harus menapaki peziarahan batin nan panjang. Namun demikian, hal ini sekaligus meneguhkan bahwa isu seputar tujuan hidup selalu menantang sekaligus relevan untuk terus menerus seseorang pertanyakan, bukan?
Syukurlah, Kawula Muda seperti kita ini diwarisi Asas Dasar oleh St.Ignatius. Asas Dasar adalah pengalaman konkret St.Ignatius sendiri. Oleh karena itu, kalau membaca dan merenungkan
Asas Dasar, kita sebenarnya diajak melakukan napak tilas peziarahan batin St.Ignatius yang menemukan tujuan hidupnya kembali, yaitu Allah sendiri.
Tujuan hidup manusia menurut Asas Dasar adalah “memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita dan dengan itu menyelamatkan jiwanya”. Kita ini adalah ciptaan. Identitas ciptaan menjadi lengkap jika ia merasa dimiliki Penciptanya. Sudah sepatutnya kita menjadikan Allah sebagai tujuan. Kerap kali kita merasa kering dan hopeless dalam menjalani hidup. Barangkali ini suatu pertanda bahwa kita memang sedang jauh dari Allah. Kita terlalu fokus pada berbagai permasalahan, baik kesibukan kerja, frustasi oleh urusan pribadi, dsb. Jauh dari Allah bikin kita kehilangan arah. Tidak adanya tujuan pun menjadikan hidup ini terlalu sunyi dan gersang buat dijalani.
Akan tetapi, dengan menempatkan Allah sebagai tujuan, kita harus menempatkan hal lain sebagai sarana. Asas Dasar menyatakan, “ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan untuk menolong manusia mengejar tujuan itu.” Apabila membantu mendekatkan kepada Allah, sarana itu kita pilih. Jika tidak, sebaik apapun itu, sarana perlu kita lepaskan. Untuk itu, kita perlu menjadi pribadi yang lentur. Ada kalanya memiliki. Ada kalanya merelakan. Ada kalanya menyambut. Ada kalanya mengucapkan selamat tinggal. Kelenturan inilah yang oleh Asas Dasar disebut sebagai sikap Lepas Bebas.
Sebagai sebuah ilustrasi, kita tahu bahwa masa Pandemi tidak memungkinkan diadakannya Perayaan Ekaristi tatap muka. Perayaan Ekaristi pun diadakan secara daring. Sekalipun tidak ideal, inilah sarana yang paling mungkin dipilih. Inilah Asas Dasar konkret yang Gereja kita hidupi. Tujuan Perayaan Ekaristi tidak berubah, sekalipun sarananya mengalami adaptasi. Tujuannya tetap Allah, sekalipun jalan kepada-Nya ditempuh dengan cara yang agak berbeda.
Ada sebuah ungkapan beken dari St.Ignatius, yaitu contemplativus simul in actione, kontemplasi/berdoa dalam aksi. Tanpa doa, tindakan kita kehilangan makna. Doa tanpa aksi nyata pun tidak cukup. Maka dari itu, Asas Dasar pun perlu diungkapkan dalam tindakan alih-alih sekadar direnungkan. Di satu sisi, apabila sarana yang diperlukan sesuai selera pribadi, tidak ada tantangan berarti dalam menghidupi Asas Dasar. Mudah bukan berbuat baik—nraktir, berbagi saldo OVO, dsb—dengan orang yang kita kasihi? Di sisi lain, ketika sarana yang diperlukan berlawanan dengan kemauan, kita bagaikan Bima yang bertarung sengit dengan Nemburnawa. Ada suatu pertempuran batin dalam diri kita. Bukankah kita perlu energi besar untuk mengapresiasi orang-orang yang cenderung kita jauhi?
Pertanyaan berikut pun perlu kita timbang-timbang. Beranikah aku tetap memilih Allah sebagai tujuan bahkan jika harus ditempuh dengan cara yang bukan aku banget? Apakah aku mau committed dengan tujuan hidupku, bahkan ketika keraguan dihadapkan kepadaku? Menghidupi Asas Dasar memang tidak mudah. Indah dibaca tapi ketika dilakukan menyita air mata. Demikian pula, setia pada komitmen pribadi itu perlu pengorbanan. Kita punya kemungkinan melenceng dari tujuan hidup. Meskipun sulit dihidupi, bukan berarti Asas Dasar tidak mungkin kita hidup.
Syukurlah kita punya Yesus Kristus. Ia adalah teladan kesetiaan pada komitmen yang dimiliki-Nya. Ia total dalam menghayati Asas Dasar. Seperti halnya kita, Yesus juga mengalami pergulatan. Getsemani menjadi saksi bisu pertempuran batin yang dialami-Nya.”Ya Bapa-Ku, jikalau
sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Minum cawan berarti bersedia ke Yerusalem, menderita, dan mati di sana untuk umat manusia. Meski berat, inilah yang Yesus pilih. Ia memilih committed dan melakukan kehendak Bapa-Nya.
Selain kesetiaan, bukankah yang Yesus lakukan adalah ungkapan cinta juga? Ketika saling jatuh cinta, bukankah dua pribadi akan saling memberikan cinta yang total bagi pasangannya? Tidak heran, setiap memasuki misteri Paskah, kita sejatinya mengenangkan Allah yang kadung total mencintai manusia. Ia mau menyelamatkan manusia dari dosa dengan memberikan sendiri Putera-Nya. Pertanyaannya, tegakah kita membiarkan cinta Allah ini bertepuk sebelah tangan? Karena itu, Asas Dasar menjadi lebih indah dan personal apabila kita hidupi dalam kerangka tanggapan kita atas cinta Allah. Karena telah dicintai Allah, maka sudah sepatutnya hidup ini kita berikan kepada Allah, sebagai ungkapan cinta kita kepada-Nya. Akhirnya, dengan mendalami Asas Dasar, semoga kita sendiri makin mengalami sebuah perjalanan pulang menuju Sang Sumber Cinta, Allah sendiri.
Catatan kaki:
1. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), 114-116.
2. Luis Goncalves da Camara, SJ, Wasiat & Petuah St.Ignatius, (Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1996), 20-24.
3. Gilles Cusson, SJ, The Spiritual Exercise Made in Everyday Life: A Method and a Biblical Interpretation, (The Institute of Jesuit Sources: Missouri), 37-40.
4. David L.Fleming, SJ, Lessons from Ignatius Loyola, (Review on Religious: Missouri, 2007), 33-36.
Fr. Gregorius Agung Satriyo Wibisono, SJ
Two things awe me most, the starry sky above me and the moral law within me (Immanuel Kant)
Gregorius Agung Satriyo Wibisono (Wibi) adalah frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Pakem, Sleman, Yogyakarta. Masuk Novisiat SJ tahun 2015. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2017. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan Sarjana Filsafat di STF Driyarkara dan tinggal di Komunitas Kolese Hermanum, Unit Pulo Nangka.