One taught me love, one taught me patience
And one taught me pain, and I’m so amazing
Mungkin karena tahu aku baru saja patah hati, seorang teman mengirimkan sebuah link spotify padaku sekitar sebulan lalu. “Ini bagus. Kamu harus dengar,” katanya, “Judulnya Thank U, Next.” Biasanya kami tak menyukai jenis musik yang sama, tapi kali ini berbeda. Lagu ini kemudian kuputar sesering kubisa, pagi, siang dan malam, selayaknya litani.
Lagu-lagu popular dengan tema patah hati yang kumiliki kebanyakan secara tradisi membawa pesan “Hey, dasar kau b*jingan” “Teganya kau padaku”, “hey, aku akan baik-baik saja tanpamu”, “ajari aku melupakanmu, hey”, “smoga kau bahagia” atau “hey hey, aku layak mendapatkan yang lebih baik darimu”. (Nyanyinya seringkali sambil bibir bawah geter-geter, menjiwai). Maka, ketika aku mendengar “Thank U, Next”, single terbaru Ariana Grande yang muncul pada 3 November lalu, ini terasa bagai angin segar bagi koleksi lagu karaoke patah hati milikku.
Aku langsung tertarik tak hanya pada alunan musik bergenre pop yang membungkusnya, atau suara bening Ariana, tapi juga pada intisari dari lagu tersebut. “Nektar” yang dititipkan Ariana pada single anyarnya ini adalah gratitude, rasa syukur, untuk mereka yang telah hadir dalam hidup, menitipkan rasa, tetapi kemudian pergi.
Luka dalam diri Ariana tentu ada. Tapi yang disuguhkannya dalam lagu adalah gambaran jiwa yang lebih teduh dan penuh syukur setelah diperbolehkan mencecap berbagai pengalaman mencinta. Rasa sakit karena patah hati, selesainya sebuah hubungan, ditinggalkan, meninggalkan, adalah lara yang sebagian besar dari kita pernah merasakannya. Ada jiwa-jiwa yang terluka dengan kisah perpisahan yang serupa, dan hubungan yang berakhir tak seperti yang diharapkan. Tapi bagaimana dengan mensyukuri kehadiran mereka yang tidak selamanya itu, apakah kita pernah sampai ke titik itu?
Bagiku lagu “Thank U, Next” adalah pengingat akan hal itu; bahwa tak ada luka yang sia-sia.
I’ve loved and I’ve lost, but that’s not what I see
So, look what I got, look what you taught me
And for that, I say, Thank you, next
Tentu susah mengucapkan kata terimakasih, terutama untuk mereka yang sudah melukai dan meninggalkan, yang kisahnya sering kali sudah kita bungkus rapat dan kita onggokkan di pojokan hati dengan diberi label “anggap saja tidak pernah terjadi”. Membukanya kembali dan mengunjungi tiap luka dan cerita tentu tak mudah. Ada luka yang masih baru, ada yang sudah mengering di permukaan namun masih belum sembuh benar di kedalaman. Mengendapkannya dan menemukan makna syukur dibalik bekas-bekas luka yang ditinggalkan butuh waktu dan kelapangan hati. Namun, diakhir perjalanan pemaknaan itu, niscaya kita pun akan diberkahi dengan rasa damai dan syukur, dan kurasa itu yang dibagikan Ariana dalam lagu ini. Dan aku setuju.
Se-cliché kedengarannya, jiwa-jiwa yang berpapasan dengan kita ini, ke manapun pada akhirnya perjalanan hidup membawanya, dibiarkan hadir oleh semesta ke dalam kehidupan kita agar kita belajar mencintai, dan memaknai hidup kita. Maka, akupun kagum mendapati Ariana yang berkenan merangkum endapan perenungannya ke dalam sebuah lagu berdurasi 3 menit 27 detik dipoles dengan refrain yang catchy dan lirik yang dikemas tangkas dan jujur.
Jika tembang adalah lembar buku refleksi, maka penyanyi Amerika berusia 25 tahun ini tidak menahan dirinya untuk menuliskan dengan jujur bait lepas bait tiap luka, kegagalan dalam hubungan dengan mantan kekasih serta buah yang didapatkannya dari proses mengolah apa yang dialaminya.
Lagu ini diawali dengan—bukan satu, tapi—empat nama mantan kekasih yang dituliskan dalam bait pertamanya. Ari membuka lagu dengan menyebut kisah satu per satu pria yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Beberapa di antaranya adalah pupusnya pertunangannya dengan komedian Pete Davidson, dan kekasih selama 2 tahunnya, rapper, dan penyanyi Malcolm James McCormick yang meninggal karena overdosis September lalu.
Ariana mungkin adalah penyanyi kelas dunia, tapi rasa luka yang dirasakannya tentulah juga sama seperti yang kita rasakan. Maka merefleksikannya dalam intensi menyusukuri dan membagikannya pada publik adalah sebuah kejujuran yang bagiku menguatkan siapapun yang mendengarkannya. Pengendapan dan percakapan dengan dirinya sendiri itu di-highlight pada salah satu bait di tengah lagu.
Plus, I met someone else
We havin’ better discussions
I know they say I move on too fast
But this one gon’ last
‘Cause her name is Ari
And I’m so good with that (So good with that)She taught me love
She taught me patience
And she handles pain
That she’s amazing
Bait ini juga kusukai karena mengingatkanku bahwa berapapun banyaknya curhat pada sahabat, atau berapapun banyaknya film dan buku yang kuhabiskan, serta travelling yang kujalani untuk menyembuhkan rasa sakit hati, aku pun harus memberi waktu kepada diri sendiri untuk meneduhkan hati, berdiam dan bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Tak ada yang instan, prosesnya butuh waktu lama, tapi aku percaya damai, keikhlasan, maaf yang tulus, kelapangan hati, penerimaan diri, akan datang pada mereka yang mencari. Tentunya, dengan waktu dan caranya masing-masing.
Jangan lama-lama bersedih hati dan menggerutu, karena tidak semua kenangan dengan mantan mesti buru-buru dikasih label “buruk” dan “gelap”. Ada Cinta yang pernah dirasakan, dan ada luka yang patut disyukuri. Lalu, setelah itu apa? Ya, aku harus percaya bahwa yang patah akan tumbuh kembali, dan yang hilang akan berganti lagi.
Dan, aku harus yakin bahwa harapan-harapan baik akan diwujudkan olehNya pada waktu dan cara yang tepat.
And like Ariana said, “Thank you. Next?”
