Pengarang : Rm. B.B Triatmoko, SJ
Judul Buku : Bisma Dewabrata
Penerbit : Kanisius
Sebuah novel yang menarik untuk dibaca, karya Rm. B.B. Triatmoko, SJ. Buku ini sebelumnya berjudul “Antara Kabut dan Tanah Basah”, yang kemudian berganti cover dan judul menjadi “Bisma Dewabrata” dengan isi yang masih sama. Buku ini terasa sangat riil terjadi dalam kehidupan kita, dimana kita sebagai manusia selalu mencari makna dan tujuan kita hidup di dunia ini.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa masing-masing pribadi memiliki “Padang Buana” dan “Angin Selaksa.” Padang Buana adalah pantulan segala hal yang pernah dialami oleh jiwa, dan Angin Selaksa adalah mimpi dan kerinduan jiwa. Salah satu penggalan kalimat favorit saya yang mampu menggambarkan mengenai jiwa: “Jiwa selalu berada dalam hubungan dengan yang lainnya. Dalam hubungan itulah jiwa mengalami sisi terang dan bayang-bayangnya, antara mimpi dan kenyataan, antara dendam dan pengampunan, antara cinta dan kehilangan. Semua yang dirasakan jiwa sebagai letupan-letupan rasa hanyalah sebagian dari dirinya. Jiwa lebih besar dari perasaannya.”
Masing-masing kita memiliki kerinduan yang mendalam akan sesuatu. Mungkin kita ingin dicintai oleh seseorang yang kita cintai, kita ingin bahagia dalam keluarga, bebas dari segala konflik, serta kerinduan-kerinduan lainnya. Namun hidup terkadang membawa kita ke arah yang lain, dan tidak sesuai dengan rencana yang sudah kita buat. Seperti halnya Dewabrata, yang berencana untuk menikahi Dewi Amba setelah dirinya menemukan bunga utpala biru muda. Namun, ternyata takdir berkata lain, karena kelicikan manusia lain, cinta Dewabrata dan Dewi Amba akhirnya kandas karena Dewi Amba bertunangan dengan pria lain. Dan di saat dimana Dewi Amba akhirnya menyadari bahwa dirinya telah ditipu dan sadar bahwa cinta Dewabrata hanya untuknya, waktu sudah tidak berpihak pada mereka. Dewabrata sudah terlanjur bersumpah untuk tidak pernah menikah dengan wanita manapun sampai akhir hidupnya.
Hal yang menarik dari buku ini terletak pada cerita bahwa bukan Dewabrata atau Dewi Amba yang bersalah, melainkan kemalangan yang menerkam mereka, dan membuat cinta mereka tak kesampaian. Pengorbanan diri karena cinta adalah jalan jiwa untuk menemukan kedamaian sejati. Jiwa tidak akan kehilangan apa-apa, akan tetapi, justru akan mulai melihat kehadiran Allah dalam segala sesuatu. Jiwa menari dengan irama alam semesta, dia tidak lagi berada di dalam dunia, dunia yang berada dalam dirinya. Inilah tingkat tertinggi dari kesadaran jiwa ketika bersatu dengan Yang Ilahi. Ketika mata dibuka dan menemukan bahwa dirinya mengatasi kehidupan, maut, dan kematian, karena dirinya adalah roh murni, dari awal dan akan senantiasa demikian.
Refleksi yang bisa saya ambil dari novel ini, adalah cinta seharusnya membebaskan dan memerdekakan kita dari segala rasa takut, cemburu, ataupun emosi negatif terhadap orang yang kita cintai. Rasa cinta yang murni memberikan kebahagiaan, saling mendukung dan membangun, meskipun pada akhirnya seseorang/sesuatu yang kita cintai tersebut tidak menjadi milik kita. Kita tetap bahagia dalam segala kebebasan rasa kita.
Inilah hidup dengan segala skenarionya. Bahkan cinta yang murni pun bisa membawa kemalangan. Namun tetaplah kita teguh pada prinsip dan pilihan yang telah kita buat, dan percaya bahwa semesta akan bekerjasama untuk mewujudkan hal baik yang kita rencanakan. (BAA)

Brigitta Ayu Andira