Berjumpa dalam Kontemplasi

oleh: Albertus Erwin Susanto, SJ

Karya : Greg Olsen

Bisakah kamu menunjuk dengan jari di mana Tuhan? Bila tidak, bagaimana bisa kita katakan kita berjumpa dengan Tuhan? Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa kita ‘mengikuti’, apalagi ‘mencintai’ Yesus yang hidup 2000 tahun silam? Perlahan tulisan ini ingin mengantar kita untuk sedikit mengerti apa artinya berjumpa dengan Tuhan, dengan Yesus, melalui doa kontemplasi.

Doa kontemplasi adalah satu dari beragam jenis cara berdoa yang menjadi kekayaan tradisi spiritual Gereja Katolik. St. Ignatius dalam Latihan Rohani-nya memberi tempat khusus pada cara doa ini dan ajakan untuk berkontemplasi muncul di seluruh bagian dari pokok-pokok Latihan Rohani. Namun, St. Ignatius bukanlah satu-satunya orang dari Abad Pertengahan yang mengajarkan cara doa satu ini: ada St. Fransiskus dari Sales, St. Teresia dari Avilla, St. Fransiskus dari Asisi, St. Antonius dari Padua. Bahkan bukan hanya milik Gereja Katolik. Tapi apa itu doa kontemplasi?
Dari namanya, kontemplasi (Latin: contemplari – kata kerja) berarti memandang, mengamat-amati, atau menatap. Kontemplasi lantas pertama-tama berkaitan dengan penglihatan. Dalam kaitan arti khususnya dengan cara berdoa, kata kontemplasi punya makna lebih dalam lagi: ‘melihat dengan mata batin’ dan ‘pencurahan per-hati-an pada apa yang dipandang’. Maka berdoa kontemplasi berarti kita berjumpa dengan Tuhan lewat daya imajinasi kita, lewat penglihatan batin kita. Dalam prakteknya, doa kontemplasi biasanya dibuat dengan mengambil satu teks kisah Kitab Suci tertentu. Kita membayangkan peristiwanya, detil tempat dan situasinya, serta hadir dalam kisah itu.

Kontemplasi Berbicara tentang Tuhan
St. Ignatius mengharapkan agar mereka yang menjalani Latihan Rohani mengalami perubahan hidup sehingga hidup mereka tidak lagi diarahkan sekedar pada kekayaan material, kenyamanan tubuh, kesenangan psikis, ataupun ketakutan-kekhawatiran yang menghalangi untuk maju. Singkatnya, Ignatius ingin agar orang-orang ‘jatuh-cinta’ pada Tuhan dan hidupnya diubah karena pengalaman cinta itu. Bukankah hanya cinta yang punya daya mengubah orang sedemikian dalam? Membaca kitab suci, mendengarkan kotbah, mempelajari teologi-teologi tidaklah cukup untuk membuat orang ‘jatuh-cinta’, paling-paling terinspirasi oleh ide-ide suci.
Persoalannya, bagaimana bisa ‘jatuh-cinta’ kalau kita tidak pernah punya pengalaman berjumpa dengan Tuhan? Yang pernah pacaran tentu tahu betapa besar artinya ‘bertemu langsung’ (hahaha…tanpa menyindir siapapun). Jatuh-cinta yang mendalam dan berdaya ubah tidak terjadi lewat foto Facebook, lewat siaran televisi, lewat satu pertemuan saja. Persoalan berikutnya, bagaimana bisa kita ketemu Tuhan yang tidak pernah kita lihat dengan mata fisik kita? Bagaimana kita bertemu Yesus yang tidak kita alami sendiri peristiwa-peristiwa dengan-Nya seperti dikisahkan dalam Kitab Suci? Kontemplasi menawarkan jalan untuk perjumpaan itu.
Dalam doa kontemplasi (membayangkan kisah Tuhan dan hadir di sana) kita bertemu dengan-Nya dengan segenap daya manusiawi kita: perasaan, pikiran, imajinasi/mata batin, kehendak, bahkan indera-indera fisik kita. Misalkan: dengan kisah Zakheus, kita membayangkan diri sebagai Zakheus sendiri, yang begitu rindu bertemu Yesus, namun takut diperolok orang-orang, sehingga memilih naik pohon. Namun tak disangka, Yesus justru mengenal kita dan memanggil kita supaya turun dari pohon. Yesus ingin bertemu dengan kita. Dengan kisah Zakheus itu aku bertemu dengan Tuhan sendiri, secara lebih hidup: melihat wajah Yesus, mendengar suara-Nya memanggil kita turun dari pohon, merasakan bagaimana senangnya ketika mendapati ternyata Yesus mengenal kita. Lewat kontemplasi, kita mengenal siapa Yesus secara lebih nyata dari sekedar ide-ide tentang siapa Yesus itu. Kita mengalami perjumpaan dengan Yesus!
“Tidakkah lalu perjumpaan dengan Yesus itu tidak lebih dari sekedar bikin-bikinan imajinasiku? Imajinasi itu buatanku atau dari Tuhan?” Pertanyaan kritis, tapi sebenarnya keliru. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan, “Anak bayi itu dari orang tuanya atau dari Tuhan?” Sama juga dengan pertanyaan, “Jatuh cinta itu sebenarnya pengalaman hati atau reaksi kimiawi hormon-hormon?”, atau lagi, “Yang menyembuhkan itu obat dokter atau rahmat Tuhan?” Jawabannya: kedua-duanya! Demikian pula halnya dalam kontemplasi, Tuhan menggunakan imajinasi kita sedemikian rupa sehingga kita bisa berjumpa dengan Tuhan. Oleh karena itu, setiap mengawali doa kontemplasi, kita perlu memohon rahmat agar Tuhan menuntun kontemplasi kita.

Kontemplasi Berbicara tentang Diri Kita
Kontemplasi setiap orang lantas amatlah khas, tidak sama, kendati mengambil kisah Kitab Suci yang sama. Bagi satu orang Yesus itu gondrong (rambut-Nya!), bagi yang lain Yesus itu kriwil. Bagi yang satu kisah Zakheus lebih mengesan, bagi yang lain kisah Pemuda Kaya lebih menarik. Bahkan setiap waktu kita bisa punya ketertarikan yang berbeda. Bagaimana kisah tentang Yesus dibayangkan juga akan sangat berbeda satu sama lain. Percakapan yang dibayangkan atas kisah Kitab Suci bisa sangat berbeda. Kita tidak berkontemplasi dengan cara meniru persis (plek-jiplek) apa yang ada di Kitab Suci. Begitu kontemplasi di mulai, kita membiarkan diri ikut dengan berjalannya imajinasi kita.
Keunikan masing-masing dalam berkontemplasi lantas berbicara banyak tentang siapa diri kita. Sebuah contoh akan sangat membantu di sini: ada seorang suster yang mengambil kisah Yesus yang ketinggalan di Bait Allah. Hatinya tergerak untuk menempatkan diri sebagai Yesus kecil itu (tentu lalu Yesusnya jadi cewek). Namun bukannya membayangkan ketinggalan di Bait Allah, kontemplasi justru membawanya pada sebuah hamparan sawah. Dia sendirian di sana, berteriak dan menangis. Usut punya usut, ternyata suster ini pernah ditinggal oleh ayahnya di tengah ladang hingga petang. Ayahnya sedang bekerja dan lupa anak putrinya di ladang itu.
Kontemplasi lantas berkaitan juga dengan alam bawah sadar, dengan pengalaman-pengalaman pribadi kita masing-masing. Yang belum pernah ke Yerusalem tentu tidak bisa membayangkan seperti apa Bait Allah, tapi mungkin ia dalam kontemplasi membayangkanya seperti Museum Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta. Detil kebenaran sejarah yang faktual tidaklah penting dalam kontemplasi. Membantu, tapi tidak yang utama. Kontemplasi justru berangkat dari pengalaman unik kita masing-masing. Bila ada pengalaman traumatis, seperti dialami suster dalam kisah di atas, kontemplasi lantas menghadirkan Tuhan dalam memori trauma kita dan membiarkan di sana Ia menyelamatkan kita.

Imajinasi dan Iman
Dunia modern kita cenderung membuat kita berpikir bahwa yang benar hanyalah yang ada secara real-objektif, bisa ditunjuk dengan jari, atau yang bisa dibuktikan secara historis maupun dengan data-data ilmiah. Maka yang namanya imajinasi tidak lebih dari khayalan anak kecil. Namun sebenarnya sikap seperti itu amatlah memiskinkan kehidupan. Padahal bahkan seorang saintis besar, Albert Einstein menyebutkan bahwa imajinasi jauh lebih penting dari pengetahuan, karena imajinasi membukakan kemungkinan akan apa yang ‘belum’ menjadi kenyataan. Inilah syarat pertama bagi doa kontemplasi: menaruh kepercayaan pada imajinasi.
Namun ada syarat kedua. Anthony de Mello dalam Sadhana menjelaskan (hal. 79-85) bahwa doa kontemplasi memang mengandaikan iman: percaya bahwa Tuhan itu ada dan bahwa Dia menuntun imajinasi kita. Bagi mereka yang tidak percaya akan Tuhan, menjadi susah untuk menjelaskan kepadanya bahwa kontemplasi bukanlah perjumpaan ‘bikin-bikinan’ saja. Bagi mereka yang beriman, kontemplasi menjadi pengalaman perjumpaan yang nyata, yang mengubah hati, pikiran, bahkan seluruh hidup kita.

***

Catatan: tulisan ini tidak memungkinkan untuk memberi penjelasan detil tentang bagaimana cara berdoa kontemplasi. Tentangnya tulisan Anthony de Mello dalam Sadhana (hal. 79-85) jauh lebih membantu. Uraian lebih luas diberikan oleh Timothy M. Gallagher dalam Meditation and Contemplation (New York: The Crossroad Publishing Company, 2008). Akhirnya mesti dikatakan: tulisan yang miskin ini belum banyak membahas kesulitan, persoalan, juga beragam kekayaan yang mungkin ditemui dalam doa kontemplasi. Diskusi dan pembacaan lebih jauh sangat diperlukan.

===



Albertus Erwin Susanto, SJ

Erwin Susanto SJ adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, saat ini ia sedang menempuh pendidikan di STF Driyarkara Jakarta. Melibatkan diri dalam komunitas MaGis Jakarta dengan harapan mempertemukan orang muda dengan Dia yang berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).

 


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *