Pengarang : William A. Barry, SJ
Judul Buku : Berdoa Dengan Jujur (Praying The Truth)
Penerbit : Kanisius (2016)
Gue tahu buku ini sebenarnya seh udah lama. Lupa, persisnya kapan karena buku ini sempet open PO di MAGIS Formasi 2016 dan banyak yang bilang bagus. Tapi memang dasar gue orangnya Thomas mode on (Doubting Thomas – red.) alias ga percaya kalau ga baca sendiri, jadi gue ga ikut PO waktu itu, bahkan akhirnya lupa akan buku ini. Kenapa akhirnya gue punya buku ini? Gue juga ga tau entah ada angin apa waktu itu. Kebetulan waktu perbul di Blok Q ada yang jual buku ini, gue seh beli aja dulu masalah dibaca atau gak itu belakangan, ye kan…?
Sekitar Februari akhir, gue mengalami kecelakaan dan mengalami desolasi yang amat sangat luar biasa. Kalau kata kidz zaman now seh, gue baper tingkat provinsi ☺. Bagaimana ga baper ye kan, semua rencana indah yang gue susun dengan indah seperti live in dan tablo, hancur seketika karena kaki harus digips untuk jangka waktu minimal dua bulan. Dua bulan…..????? Yes, dua bulan. Kebayang kan bagaimana betenya bed rest selama itu? Di sinilah awal pertemuan gue secara mendalam dengan buku ini. Buku sebanyak 176 halaman ini yang membantu gue melewati masa-masa desolasi.
Selama ini yang gue tahu, berdoa itu ya harus santun, khidmat terstruktur dan dirangkai dengan kata-kata indah supaya doa kita didengarkan. Melalui buku ini, persepsi gue mengenai doa itu dicerahkan: berdoalah seperti kita curhat sama temen yang kita percayai, posisikanlah Dia sebagai temen yang sangat kita percayai. Seperti layaknya sahabat, kita bebas mencurahkan apa yang kita rasakan bahkan ketika sedang marah sekali pun. ”Berdoa dengan Jujur” mengajak kita untuk belajar jujur pada Tuhan maupun diri sendiri dari kehidupan rohani, pekerjaan, keluarga, komunitas bahkan seksualitas.
Melalui buku ini kita diajak pula untuk jujur berdoa tanpa kepura-puraan sekaligus belajar untuk mendengar sapaan Allah. Buku ini membantu gue melewati dua bulan masa terberat dalam hidup gue; membuat gue berani marah sama Tuhan dengan berurai air mata; juga membantu gue untuk jujur pada diri gw sendiri dan pada Tuhan; serta mengajarkan gue bahwa “it’s fine to give up” karena memang ada kalanya kita harus mendengar sapaan Allah, tidak selalu menonjolkan ke”aku”an-ku.
Dengan bahasa yang mudah dicerna dan disampaikan dengan gaya bahasa sehari-hari sehingga tidak terlalu berat untuk dipahami, tetapi memang disarankan membaca dalam suasana yang tenang supaya fokus mencerna makna yang ingin disampaikan. Gue pernah membaca sambil nunggu antrian di RS, hasilnya ya gitu deh, ga nangkep pointnya ☺
So, buat yang lagi merasa kehidupan rohaninya lagi “kering”, buku ini sangat mumpuni kok buat dijadiin oase rohani, atau yang masih suka bingung doa yang baik itu kek apa seh—apakah harus santun atau haruskah dengan rangkaian kata-kata manis? Buku ini punya jawabannya.
Selamat membaca, teman-teman Magis!
Sihol Hasudungan
Magis Formasi 2016

Sihol Hasudungan