Dalam sebuah klip dari Jannabi, sebuah grup band Korea yang menjadi judul artikel ini, ditampilkan dinamika seseorang yang mengalami keraguan. Dalam ragu, rasa dan rasio beradu di dalam kalbu itulah pergulatan yang ditampilkan klip tersebut. Pembahasan tentu tidak akan berlanjut hanya soal Jannabi dan klipnya. Namun, kalau kita menilik hidup, bukankah pilihan dan keraguan selalu menjadi bagian di dalamnya? Bukankah kita sering masuk dalam pertempuran rasa dan rasio? Atau, sungguhkah keduanya berdamai dalam diri kita? Lalu, bagaimana Sang Rahmat bekerja jika hidup hanya soal rasa dan rasio?
Rasa yang Sementara dan Keputusan yang Selamanya
Rasanya, frasa tersebut mudah untuk dipahami. Namun, tak jarang ‘yang sementara’ begitu mempesona dan menuntut perhatian kita. Di titik ini, jargon hic et nunc (di sini dan kini) atau carpe diem (reguklah hari ini) bisa jadi salah dipahami. Bersyukur dan menikmati kekinian memang harus dilakukan. Namun, bukan berarti semua rasa dan hasrat sesaat harus dibuat. Demikian, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya atau proses mengukir sejarah mestinya dilakukan dengan sebaik mungkin, baik dan buruknya tentu saja menjadi pertimbangan, karena penyesalan selalu muncul belakangan, kalau di awal tentulah itu pendaftaran. Berkaitan dengan itu, kita semua paham tentang pentingnya pertimbangan. Bahkan, ulasan Kitab Suci soal gambaran membangun menara (lih. Luk 14:28) pun telah menampilkan soal pentingnya keputusan. Tidak ketinggalan berbagai peribahasa, semisal, kriwikan dadi grojogan, geguyon dadi tangisan (aliran air yang lemah menjadi deras, candaan bisa tangisan) mengingatkan kita untuk tidak menganggap sepele pilihan-pilihan hidup kita.
Beralih dari tataran ide dan gagasan, marilah kita mengambil sebuah contoh nyata soal perbedaan jatuh cinta dan mencintai dalam konteks apa pun. Jatuh cinta bisa dikatakan seperti tanggapan otomatis ketika melihat hal atau seseorang yang mewakili definisi kesempurnaan atau kategori keindahan yang tertanam dan tumbuh dalam diri. Reaksi rasa dan kimia ini, bisa terjadi kapan saja, pada siapa saja dan di mana saja tanpa bisa kita kontrol. Hanya saja, mestinya kita harus naik level untuk tidak hanya jadi a person who fall in love tapi menjadi lover. Di sinilah tahapan mencintai dimulai, di mana pilihan diambil secara sadar, dihidupi, dan diperjuangkan secara konsisten serta konsekuen mengingat dampaknya yang bertahan lama bahkan selamanya. Maka, tidak jarang, seseorang ragu atau takut berkomitmen atau mengambil keputusan, tetap menjadi penikmat bukan pecinta atau pejuang yang berani berkomitmen.
Komitmen: Memilih untuk Bahagia?
Sedikit melanjutkan contoh tadi, kita dapat menemukan realitas paradoksal soal jatuh cinta dan mencintai. Ketika jatuh cinta, seseorang masih ragu, apakah cintanya akan berbalas dan bertahan. Namun, Ketika berani mencintai, justru kita akan menemui keyakinan di tengah segala kelemahan dan keterbatasan yang ada. Realitas ini dapat dijelaskan dengan baik oleh Hannah Arendt, seorang filsuf Jerman ketika dia menjelaskan soal dua kelemahan tindakan manusia. Pertama, tindakan manusia itu irreversible, dampak dari tindakan manusia tidak bisa dikembalikan lagi persis seperti semula. Maka, untuk itu diperlukan obat pengampunan. Kedua, yang sangat berkaitan dengan refleksi kali ini, tindakan manusia itu unpredictable, kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Maka, sebagai antisipasi, diperlukan janji atau komitmen.
Pertanyaan selanjutnya, benarkah komitmen selalu meyakinkan dan membahagiakan? Dalam kenyataan, tidak sedikit orang yang merasa salah mengambil keputusan, salah mengambil jurusan dan pindah bahkan ada yang harus meninggalkan. Bukankah kita berani memilih demi keyakinan akan sebuah kebahagiaan? Nah, kebahagiaan seperti apa yang dimaksud? Sudah terbukti, bahwa apa pun pilihan kita, ada suka dan dukanya. Selain demi sebuah perjuangan untuk kebahagiaan, memilih berarti juga berani menderita karena harus mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain. Dengan kata lain, ada sebuah harga yang harus dibayar. Maka, semoga kebahagiaan tumbuh menjadi rasa syukur karena telah memilih yang terbaik dari yang baik atau yang keburukannya lebih sedikit. Lalu, bahagia karena berani memperjuangkan nilai keutamaan, bukan sok kuat melawan situasi atau pribadi yang toxic. Bahagia tidak selalu berarti nikmat, nyaman, menyenangkan atau tampak romantis sebagaimana kisah cinta para musikus klasik, misalnya: Brahms yang tidak mendekati Clara karena menghormati gurunya, Robert Schumann sekalipun dia sangat mencintainya. Bahkan, setelah Robert wafat pun, mereka berdua pun tidak pernah memutuskan untuk menikah. Brahms dengan bahagia dengan cara elegan mengarang beberapa komposisi khusus untuk Clara, seperti Ops. 116-119. Setelah kepergian Clara, kesehatannya menurun dan tak sampai setahun dia pun dijemput keabadian. Atau, kebahagiaan à la Chopin yang tidak mengikuti kisah drama umumnya, yang mana sepasang kekasih tampak memaksakan pernikahan beberapa saat sebelum salah satunya tiada. Dengan tegas, dia tidak melakukannya dan berkata it’s okay untuk semua.
Penjelasan tersebut tidak memberi panduan mengambil keputusan. Maka, akan sedikit ditambahkan pentingnya mengambil jarak, dari mana? Dari perasaan kita sendiri, dari harapan kita dan harapan orang-orang di sekitar kita atau ketakutan kita. Demikian, kita bisa melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi, memiliki lebih banyak pertimbangan dan pandangan lebih luas seperti melihat Altare della Patria di nol kilometer Roma dari Bukit Gianicolo. Kita bisa menemukan keindahan Altare della Patria sebagai sebuah bangunan dari dekat. Lalu, lintasan sejarah bahkan kenangan-kenangan tertentu bisa segera melintas ketika seseorang diam sejenak, menyangga pipi dengan satu tangan sambil menarik nafas dalam di sekitaran bangunan itu. Namun, lain halnya jika kita melihatnya dari Bukit Gianicolo, tampak di sana tidak hanya Altare della Patria tapi banyak bangunan indah lain di sekitarnya, yang kiranya juga menarik untuk dikunjungi dan dinikmati. Singkatnya, Roma bukan hanya soal Altare della Patria di nol kilometernya.
Akhirnya: Cinta dan Pilihan yang Transformatif
Kamu masih mengalami keraguan? Ya, kita tidak bisa lepas darinya dan in dubbio libertas (jika ada keraguan antara dua atau lebih pilihan yang setara, Anda memiliki kebebasan dan dapat melakukan apa yang Anda inginkan). Hanya saja, ada satu pertimbangan lain yang dapat direnungkan berdasarkan salah satu nasehat St. Ignatius Loyola, ”Bagi para pecinta, tidak ada yang terlalu sulit, apalagi jika dilakukan karena cinta kepada Tuhan kita Yesus Kristus”. Maka, sebagai orang beriman, segala dinamika dan pilihan hidup mestinya diletakkan dalam kerangka syukur dan perjuangan untuk makin serupa dengan Kristus sebab ad maiora natus sum (kita lahir untuk tujuan yang lebih besar). Di sanalah, Sang Rahmat hadir, turut membentuk, menguatkan dan menyempurnakan kita.
Dengan kata lain, di antara dua pilihan yang baik, kita bisa membidik pilihan mana yang lebih transformatif. Transformatif bukan hanya soal menantang dan kuat bertahan di situasi yang toxic sekalipun tetapi soal tempat, pilihan, dan komitmen di mana cinta, keutamaan, serta talenta akan jauh lebih bertumbuh secara dinamis. Akhirnya, marilah mengambil jarak sejenak, melihat, serta memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih dalam dan luas sehingga tidak terus menjadi lover who hesitate. Akhir kata, untuk kita, saya ingin mengulang doa yang sama, yang pernah dilambungkan oleh St. Ignatius Loyola, ”Semoga rahmat yang sempurna dan kasih abadi Kristus Tuhan kita menjadi bantuan dan perlindungan yang tak pernah gagal bagi kita”.
Antonius Setya Herawan
Romo MSF (Misionaris Keluarga Kudus) asli Bantul, Yogyakarta yang berstatus mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma. Pecinta Summa Theologiae dan Espiritualidad Ignaciana yang suka membaca, berkelana dan nonton serial drama. Ditunggu, rekomendasi drama dan quotes galaunya di IG @setyaherawan. hhe