Covid-19 sudah dan sedang hadir dalam kehidupan kita sampai saat ini. Jumlah orang yang terkena virus ini sampai awal bulan September 2020 makin bertambah. Menghadapi situasi itu Jakarta akan memberlakukan kembali PSBB. Berbicara soal itu banyak orang mengganggap bahwa virus ini adalah wabah. Buktinya adalah kematian orang menjadi hal yang biasa didengar, banyak orang kehilangan pekerjaan dan kebingungan mencari uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sektor pendidikan dijalankan secara virtual, interaksi antar orang menjadi terbatas, dan masih banyak dampak yang membuat banyak orang terhimpit. Tidak mengherankan bila banyak orang menganggap virus ini sebagai wabah karena kehadiran virus ini membuat kita seolah-seolah menjadi pribadi yang “buntung” atau cacat. Bisa disimpulkan sementara bahwa Covid-19 adalah buruk di mata manusia.
Dengan mengalami situasi seperti itu dari sisi orang beriman, terutama di kalangan umat Kristiani banyak orang mulai bertanya, seperti Apakah Tuhan masih mencintaiku. Kalau Tuhan Mahabaik mengapa Dia mendatangkan virus ini dalam hidupku. Bahkan kita bisa menjumpai pertanyaan serupa yang memperlihatkan adanya keraguan dalam beriman. Tuhan seolah-olah disalahkan karena mendatangkan virus ini. Pertanyaan ini seolah-olah menjebak kita pada sebuah keraguan terhadap eksistensi Tuhan. Namun kita tidak bisa meremehkan pertanyaan seperti itu karena dampak dari pertanyaan-pertanyaan itu membuat kita malah bisa menjauhi-Nya karena kita tidak cukup kuat dalam mempertanggungjawabkan iman kita.
Singkatnya penulis ingin mengatakan bahwa Tuhan bukanlah kita. Inilah dasar agar kita tidak cepat-cepat menyalahkan Tuhan. Banyak orang cenderung mengandaikan bahwa pikiran manusia sama seperti pikiran Tuhan. Bila banyak orang memandang bahwa Covid-19 adalah wabah bagi kehidupan mereka, maka di mata Tuhan itu juga buruk. Kalau itu buruk mengapa Tuhan menghadirkan virus ini ke dunia. Pengandaian inilah yang membuat orang menjadi ragu dalam imannya dan dengan cepat menyalahkan Tuhan. Kita tidak bisa menyamakan pikiran kita dengan pikiran Tuhan. Apa yang di mata manusia tidak baik belum tentu sama tidak baiknya di mata Tuhan. Banyak orang cenderung terjebak pada pengandaian bahwa apa yang di mata manusia baik tentu juga baik di mata Tuhan.
Dalam ajaran Kristiani pengandaian seperti itu salah total. Pengandaian itu terlihat jelas dalam kisah pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikuti-Nya (Mrk. 8:31-38; Mat. 16:21-28; Luk. 9:22-27). Yesus mengatakan kepada pada murid bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepada, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan sesudah tiga hari. Kita bisa melihat bahwa Yesus yang kita imani sudah sejak awal memilih jalan penderitaan. Penderitaan bukalah wabah bagi diri-Nya. Penderitaan yang cenderung di mata manusia buruk malah menjadi jalan keselamatan. Namun, mereaksi perkataan Yesus, Petrus malah menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya. Inilah reaksi Petrus yang serupa dengan reaksi banyak orang yang mengalami keraguan saat menghadapi Covid-19. Saat melihat reaksi Petrus, Yesus malah memarahi Petrus, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Kisah itu diharapkan menjadi dasar untuk melihat dengan lebih jernih bagi banyak orang yang menganggap covid-19 adalah wabah dan seolah-olah ini semua salah Tuhan. Orang yang mengatakan bahwa ini semua salah Tuhan saat di hadapkan dengan situasi pandemi ini adalah orang yang berusaha lari dari kenyataan dan tidak mau terbuka pada hal baru. Menghadapi situasi itu kita bisa belajar dari St. Ignatius Loyola yang juga mengalami situasi yang kurang lebih sama. Di masa awal pertobatannya, dia memiliki keinginan untuk tinggal di Yerusalem. Saat sampai di Yerusalem, keinginannya itu tidak terwujud karena dengan berbagai pertimbangan otoritas Gereja saat itu tidak menyetujui kalau dia tinggal di situ.
Lalu, apakah Ignatius bereaksi sama seperti banyak orang yang terkena dampak dari Covid-19 dan menganggapnya sebagai wabah. Artinya, dia marah kepada otoritas Gereja yang membuat keinginannya tidak tercapai. Apakah dia bertanya bahwa Tuhan mencintainya atau tidak, atau ada atau tidak. Apa reaksi Ignatius? Ignatius malah bereaksi dengan sebuah pertanyaan, yaitu apa yang dikehendaki Tuhan atas atas dirinya. Dia tidak menutup diri dan menyalahkan situasi di luar dirinya, melainkan mau terbuka pada situasi itu. Sampai akhirnya dia dalam segala permenungannya bisa sampai pada keputusan untuk menjalani studi lagi agar dia mampu menyelamatkan jiwa-jiwa dengan optimal. Ignatius sudah sejak awal sadar bahwa Tuhan bukanlah kita. Maka dari itu reaksinya memperlihatkan sisi yang memperlihatkan harapan untuk semakin dekat pada-Nya, meskipun dia mengalami situasi yang tidak mudah. Dia berusaha membuka diri kepada Kehendak-Nya karena saat awal-awal pertobatannya dia sadar bahwa bukan dia sebagai tujuannya, tetapi Tuhanlah tujuannya.
Sebagai umat beriman kita diundang untuk lebih cerdas dalam beriman. Janganlah dengan cepat-cepat mengambil kesimpulan. Ignatius mengatakan bahwa dalam situasi diri kita yang ruet janganlah kita mengambil keputusan. Oleh karena itu, kita perlu membiasakan diri untuk berdiskresi dan mengambil jarak terhadap kenyataan yang sedang kita hadapi agar kita lebih jernih dalam memahami apapun yang ada di hadapan kita. Hidup dalam situasi pandemi ini memang tidak mudah dan cenderung membuat banyak orang mengalami situasi diri yang ruet, tetapi kita semua diajak untuk semakin terampil dalam beradapasi dan bukan dengan cepat-cepat menyalahkan Tuhan.
Fr. Bonifasius Junio Surya Aji, SJ
Bonifasius Junio Surya Aji (Boni) adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Sragen, Paroki St. Maria di Fatima Sragen. Masuk Novisiat SJ tahun 2016. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2018. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STF Driyarkara dan tinggal di Kolese Hermanum.
“Bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42)