Pengalaman di Manresa dan Cardoner bukan satu-satunya pengalaman akan Allah yang dialami oleh St. Ignatius. Setelah dari Manresa, Ignatius pergi ke Barcelona dan Paris untuk studi. Ia mulai membentuk persahabatan dengan Fransiskus Xaverius, Petrus Faber, dan ketujuh sahabat lainnya. Mereka mengucapkan kaul bersama di Montmartre pada tahun 1534 dan berencana untuk pergi ke Yerusalem. Kehendak Tuhan tak selaras dengan keinginan mereka. Karena kondisi perang, rencana mereka terhambat.
Ignatius dan kawan-kawan kemudian menghabiskan waktu di Venesia untuk merawat orang-orang sakit dan memberi pelayanan rohani sambil menunggu kemungkinan pergi menyeberang ke Yerusalem. Di masa penantian ini, ada satu peristiwa kunci yang mengubah pandangan Ignatius. Ignatius yang sedang berjalan bersama Laynez dan Faber menuju kota Roma berhenti di sebuah kapel kecil untuk berdoa. Kapel itu terletak di sebuah persimpangan, letaknya beberapa mil sebelum kota Roma. Di sana, di kapel yang disebut La Storta itu, ‘Ignatius dikunjungi amat khusus oleh Allah’. Diceritakannya di dalam autobiografinya:
“Ketika mereka pada suatu hari masih beberapa mil dari Roma, di sebuah gereja, waktu ia sedang berdoa, ia mengalami begitu banyak gerakan dalam hatinya dan melihat dengan begitu jelas bahwa Allah Bapa menempatkan dia bersama dengan Kristus, Putranya. Ia sungguh tidak berani meragukan bahwa Allah menempatkan dia bersama dengan Putranya.” (Autobiografi, 96).
Pengalaman rohani Ignatius di La Storta ini berdampak besar dalam hidup Ignatius. Sejak peristiwa itu, Ignatius mengurungkan niatnya untuk pergi ke Yerusalem dan mengikuti kehendak Allah untuk menetap di Roma serta melakukan karya pelayanan di sana. Namun, yang patut menjadi catatan adalah bahwa corak pengalaman akan Allah di La Storta tidak lagi sama dengan pengalaman di Manresa.
Jika di Manresa relasi yang terbangun antara Allah dengan Ignatius adalah relasi guru dan murid, di La Storta Allah tampil sebagai Bapa yang mengajak Ignatius bekerja bersama dengan Allah Putera. Tak hanya itu, Yesus, Sang Putera, digambarkan tampil sebagai Pribadi yang memanggul salib. Pengalaman rohani Ignatius di La Storta ini memberi corak kunci bagi spiritualitas Ignasian. Usaha pelayanan dan keterlibatan dengan dunia selalu bersumber dari keinginan untuk menjadi rekan kerja Yesus. Sejak saat itu, Ignatius semakin yakin bahwa panggilan utamanya adalah memanggul salib bersama Yesus di dunia. Demikianlah visi Ignatius tidak berhenti pada gambaran Allah yang terus menerus mendidiknya, tetapi juga mengajaknya untuk ikut bekerja bersama Dia.
Undangan Menjadi Rekan Kerja-Nya
Perubahan visi Ignatius itu layak menjadi titik pijak refleksi kita bersama. Relasi kita dengan Allah tidak hanya berhenti di Manresa. Masih panjang perjalanan relasi kita dengan-Nya. Setelah merasakan kasih Allah yang mendidik dan membentuk kita, kita diundang untuk bekerja bersamanya dalam dunia. Kita diundang untuk memanggul salib bersamanya di tengah dunia yang menderita. Wujudnya bisa bermacam-macam: menyapa orang tua kita yang kesepian, memberi sedikit rezeki bagi orang-orang miskin, mengunjungi teman yang sedang kesusahan, melayani di komunitas, mengasihi orang lain dengan lebih tulus, dan ungkapan-ungkapan kasih lainnya.
Apa yang telah kita bahas di atas mungkin kita rasakan sebagai kata-kata abstrak yang sulit untuk dipraktikkan. Padahal, jika kita terbiasa untuk belajar mengenai spiritualitas Ignasian, terbiasa berjumpa dengan Tuhan dalam doa, terbiasa berefleksi dan bertemu dengan diri sendiri, kita sudah sangat familiar dengan cara pandang semacam itu. Uraian panjang di atas dapat disimpulkan dengan ringkas dalam ungkapan “gerak dari Pribadi Yang Dikasihi menjadi Pribadi Yang Mengasihi”. Kita hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk menyalurkan berkat Allah bagi sesama.
Referensi:
Grogan, Brian, S.J. Alone and on Foot: Ignatius of Loyola. Dublin: Veritas Publications, 2008.
Coleman, Gerald SJ. Walking with Inigo: A Commentary on the Autobiography of St.Ignatius. Gujarat:Gujarat Sahitya Prakash, 2001
Goncalves da Camara, Luis SJ. Wasiat & Petuah St. Ignatius. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
