Tiga Hari Tuk Selamanya

pexels.com

“Tidak ada yang kebetulan di MaGis, semua sudah ada yang atur,” agaknya statement Romo Mario pada saat pembekalan itu benar adanya. Ungkapan itu pula yang mempertemukanku, Natalia dan Lia di momen Peregrinasi 2018 ini. Kami bertiga tergabung dalam satu kelompok, dan mendapat tujuan peregrinasi ke Goa Maria Sendang Pawitra Tawangmangu. Merekalah yang akan menjadi teman peziarahanku selama tiga hari dua malam ke depan, saat bertemu, kami belum saling mengenal karena mereka dari MaGis Yogya, sedangkan aku dari MaGis Jakarta. Lia adalah seorang mahasiswa S2. Ketika pertama kali kumelihat sosoknya, kesan pertamaku ia adalah orang yang berada. Sejak pembekalan kutahu tubuhnya tidak fit dan ada keraguan untuk ikut karena penyakit yang dideritanya, namun setelah berdiskresi, ia memutuskan untuk ikut. Natalia yang akrab disapa Nat, adalah seorang mahasiswa keperawatan yang berperawakan mungil, berpembawaan sederhana, dan pendiam, tidak banyak berbicara.

Siang itu, sekitar pukul 10:30 kami tiba di SDN 2 Cawas, titik awal perjalanan kami. Cuaca hari itu cerah dan panas terik seolah matahari merestui perjalanan kami bertiga. Kami mulai berjalan menerjang teriknya matahari. Lia berjalan di depan, Nat di tengah sementara aku di belakang. Aku memang sengaja memilih posisi paling belakang karena tujuanku ikut perigrinasi ini adalah menanggalkan segala keegoisanku, aku tidak ingin seperti naik gunung dimana aku selalu di depan dan jauh meninggalkan team, aku ingin belajar mendengarkan orang lain belajar peduli dengan orang lain tidak hanya mementingkan diri sendiri.

Kami berjalan dengan jarak yang ga terlalu jauh, sehingga Lia dan Nat masih bisa kulihat, Karena jarak berjalan yang tidak terpaut jauh, mereka masih berada dalam pantauanku. Ada yang menggelitik benakku di sepanjang jalan: tidak ada orang yang jalan kaki seperti kami. Sepertinya, pesatnya kemajuan zaman telah mengubah kebiasaan masyarakat sekitar, yang kini sudah menggunakan motor, sehingga berjalan kaki agaknya sudah manjadi hal yang aneh. Paling tidak itulah yang kami alami karena sepanjang jalan kami menjadi tontonan, ditertawakan oleh mereka, bahkan motor yang dari depan melaju kencang melambat pas melewati kami, seolah apa yang kami lakukan ini adalah hal aneh. Kuturunkan topiku—karena aku malu, aku tidak mau jadi bahan tertawaan mereka—ah ternyata belum apa-apa aku sudah gagal melawan egoku.

Baru saja mulai perjalanan, sifat egoisku sudah muncul. Setelah berjalan sekitar 2 jam kami akhirnya melewati kecamatan Cawas dan mulai masuk kecamatan Weru. Waktu sudah menunjukkan pukul 12, berjalan di bawah terik matahari cukup menguras energi dan persediaan air juga sudah mulai menipis. Setelah kami berembuk akhirnya Nat menawarkan diri untuk mencoba peruntungan kami yang pertama untuk minta makan. Jujur, aku ragu dia akan berhasil karena karakter dia yang cenderung pendiam, tetapi kembali lagi, jangan pernah meremehkan orang lain. Di luar dugaan, ia berhasil! Kami tidak mengalami penolakan, kami malahan disuguhi nagasari dan kerupuk sebagai makanan pembuka, berlanjut soto dan gorengan sebagai menu utama. Luar biasa, keluarga ini sangat baik bahkan kami ditawari untuk membawa bekal. Pada awalnya kami menolak, karena kami hanya boleh makan apa yang ada, secukupnya dan tidak boleh bawa bekal, tapi penolakan kami kalah dengan niat baik mereka, mereka bersikeras membekali kami 3 bungkus nasi berisikan tempe orek, gorengan, dan air mineral botol di tambah mereka masih menyempatkan menggoreng telor untuk bekal kami. Tak cukup sampai di situ, mas Agus secara paksa memasukkan sejumlah uang ke kantung celanaku, yang belakangan kami baru tahu nilainya Rp 50.000. Akhirnya kami memutuskan menerima bekal itu dengan catatan nanti akan kami berikan kepada orang yang butuh di tengah jalan.

Setelah 40 menit perjalanan, benar saja, kami menjumpai seorang bapak sedang ngarit. Awalnya aku agak ragu untuk menghampiri bapak itu karena ada ketakutan, bagaimana kalau dia malah curiga kepada kami? Karena bagaimana pun, kami adalah orang asing yang tidak dia kenal. Lia menyarankan untuk mencoba saja, karena kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba. Kami tawarkan bekal kami dan di luar dugaan bapak itu sangat senang sekali, ia berterimakasih kepada kami, aku pun merasa tertampar karena selalu berpikiran negatif duluan, sehingga ketika mau bertindak, acapkali niat baik yang ada urung terlaksana karena pikiran negatif. Ada rasa senang yang luar biasa ketika bapak itu menerima pemberian kami; ada rasa syukur dan senang yang kutangkap dari raut muka beliau, kalau dipikir-pikir seh itu hanya makanan biasa tapi beliau sangat senang dan berkali kali mengucapkan terima kasih. ”Belajarlah mensyukuri dari hal hal kecil” bapak itu mengajariku hal ini. Ada rasa yang luar biasa aku rasakan ketika mampu berbagi di tengah keterbatasan–tidak tahu itu rasa apa, tetapi aku menyukai dan menikmati rasa yang berdesir di dalam hatiku–apakah ini yang dinamakan merasakan cinta Tuhan…? ”Berbagi / memberi dalam keadaan cukup adalah biasa tapi berbagi/memberi dalam keadaan terbatas adalah luar biasa”.

Kami melanjutkan perjalanan dalam kondisi konsolasi. Perjalanan jadi terasa menyenangkan. Satu jam kemudian kami kembali berjumpa dengan bapak tua yang sedang ngarit. Tergerak oleh rasa belas kasihan, kami berencana mau memberikan uang yang tadi kami dapatkan karena makanan sudah habis kami bagikan. Dengan senyum ramah kami hampiri si bapak dan kami utarakan niat kami. Di luar dugaan, dia justru menolak menerima uang yang kami berikan ini. Aku sempat marah dan kecewa sama bapak itu. Aku men-cap dia orang tua miskin yang sombong karena dia tidak menghargai niat baik kami. Toh kami tidak minta macam-macam, kami cuma menawarkan bantuan. Ini adalah kali kedua aku gagal mengalahkan diriku. aku hanya sibuk melihat dari sisi “aku”; tidak pernah melihat dari sisi si bapak. Mungkin memang wajar kalau bapak itu menolak, curiga karena kami orang baru yang bahkan tidak dia kenal tapi tiba tiba menawarkan uang. Bukankah kalau aku di posisi dia aku akan melakukan hal yang sama atau bahkan lebih reaktif.

Dari Kecamatan Weru kami memasuki kecamatan Tawang. Posisi masih seperti awal: Lia di depan, Nat di tengah, dan aku di belakang. Makin sore kondisi makin menurun dan makin sering berhenti namun masih semangat berhubung masih hari pertama. Kecamatan Tawang kami lewati dan masuk ke kecamatan Tawangsari. Ini adalah spot ke-3 kalau merujuk dari peta yang diberikan MaGis. Hari semakin sore dan kondisi kami semakin letih. Lia akhirnya meminta istirahat karena mau buang air kecil. Sembari beristirahat, kami di puskesmas Tawangsari, melihat peta untuk mengetahui sudah seberapa jauh kami berjalan dan berapa jauh lagi jarak yang harus kami tempuh.

Ada dua peristiwa penting yang terjadi di Tawangsari: Pertama adalah saat kami mengalami rahmat yang luar biasa ketika kami bertiga berdiskusi untuk menyusun strategi dan kami dipertemukan dengan bapak Habib yang sedang nongkrong di depan puskesmas. Karena melihat wajah kami yang sangat lelah, beliau bertanya kami dari mana dan mau kemana. Setelah mengetahui tujuan kami, dia menawarkan kami untuk beristirahat dulu karena tujuan kami masih jauh. “Istirahat dulu saja ditempat saya besok saja melanjutkan perjalanannya.” Tentu saja tawaran itu kami tolak secara halus. Bukan karena apa apa, tapi dia sudah membelikan kami bubur ayam lengkap dengan telor dan teh manis dan menurut kami itu sudah lebih dari cukup. Kalau kami mengiyakan beristirahat di rumah beliau, kami bertiga takutnya perjalanan ini menjadi piknik, bukan lagi peregrinasi. Selain rahmat dari makanan itu, dari sini jugalah kesalahan kecil yang berakibat fatal di mulai,” Jangan berjanji pada saat konsolasi dan jangan membuat keputusan pada saat desolasi”. (Mengapa demikian?)

Ini peristiwa yang kedua: berhubung hari masih sore, kami memutuskan melanjutkan perjalanan berbekal peta yang diberikan dari pak Habib. Kami terus berjalan dan menghiraukan peta dari maGis. Hari sudah maghrib ketika kami sampai di Banmati dan jalanan sudah gelap. Awalnya kami masih berusaha mencari tumpangan ke rumah warga, kalau sudah mentok baru nanti kami akan mencari rumah RT. Rumah pertama kami ketuk dan kami disambut seorang bapak tua. Setelah mengutarakan niat, si bapak tidak keberatan menampung kami. “Syukur kepada Tuhan akhirnya bisa istirahat”, ujarku dalam hati. Sayangnya kebahagiaan kami itu tidak bertahan lama. Beberapa menit kemudian putra si bapak meminta maaf kepada kami dan bilang tidak bisa menampung kami karena mau ada acara pengajian di rumahnya. Jengkel, sebel, marah pastinya, tapi kami cukup bijak untuk menerima kenyataan pahit ini. Menerima penolakan di saat capek luar biasa adalah hal yang jujur tidak bisa kuterima. Agaknya Tuhan mau mempermainkan kami, dan aku pun mulai mencari kambing hitam sebagai pelampiasan amarahku. kami pamit dan memutuskan langsung mencari rumah RT saja karena hari sudah gelap. Kondisi Lia dan Nat juga sudah mulai drop. Setelah bertanya ke beberapa warga, akhirnya kami sampai di rumah RT. aku sudah pesimis duluan karena ibu RT nya berjilbab. Setelah menyampaikan niat kami, ibu RT belum bisa kasih jawaban karena bapak RT lagi keluar. Di luar dugaan, ibu RT yang kupikir judes itu ternyata baik luar biasa. Sembari menunggu bapak RT pulang kami disuguhi bakso dan es teh manis. Ah… aku malu pada diriku kenapa begitu mudah aku mencap negatif orang lain. Acapkali aku me-labeli orang lain dengan standarku sendiri tanpa terlebih dahulu mencoba mencari tahu. Ini adalah kegagalan ketigaku hari ini.

Keesokan paginya sekitar jam 06:00 pagi kami berniat pamit untuk melanjutkan perjalanan. di luar dugaan lagi, si ibu sedang mempersiapkan makanan untuk kami. Beliau menahan kami. “Tunggu dulu sampai saya selesai masak baru pergi,” katanya. “Saya sudah mempersiapkan menu istimewa buat kalian loh saya sudah belanja ke pasar, nanti saja agak siangan berangkatya.” Si ibu masih berusaha menahan kami, tapi dengan berat hati kami harus berangkat pagi itu juga karena memang mengejar waktu dan sebelum pergi kami minta maaf karena mengecewakan si ibu dan sudah merepotkan. Setelah sarapan roti dan secangkir teh, kami bertiga melanjutkan perjalanan, kami dibekali air mineral dan uang karena tidak ingin mengecewakan si ibu. Air mineralnya kami bawa tapi uangnya kami tolak.

Perjalanan hari pertama telah kami lalui. Pelajaran yang dapat kupetik adalah “Roh jahat itu tidak selalu datang dalam hal hal yang buruk. Adakalanya dia datang seperti malaikat dan menjerumuskan kita,” seperti tawaran bapak Jamil atau ibu RT. Kalau kedua tawaran itu kami ambil maka perjalanan ini akan terasa seperti perjalanan biasa tanpa makna di mana semua serba gampang, yang dapat hanya capeknya saja”.

***

Hari Ke-2

Berbekal peta yang kami dapat dari Bapak Jamil, perjalanan kami lanjutkan. Peta dari MaGis sudah tidak kami hiraukan karena kami terlalu percaya diri dengan peta yang kami dapat. Hari kedua ini terasa lebih berat dari hari pertama karena kondisi kedua rekan seperjalananku sudah tidak fit. Kaki kapalan dan betis sakit adalah masalah utama yang dikeluhkan, tapi mereka tetap semangat melanjutkan perjalanan. Semakin siang matahari pun semakin terik. Frekuensi istirahat semakin sering dan kecepatan berjalan pun sudah tak secepat hari pertama. Puncaknya adalah jam 10:00. Kami berhenti untuk istirahat. Lia membuka pembicaraan karena dia merasa ada yang salah dengan jalur yang kami tempuh karena seharusnya kami sudah sampai Jumaponto jam segini. Lia merasa bertanggung jawab karena membawa kami sejauh ini. Di luar dugaan, Nat bersuara, “iya kayaknya kita salah arah. Jumaponto dah lewat tadi, ada pertigaan ke Jumaponto sekitar sejam yang lalu,” ujarnya. Lia mulai marah tapi dia masih menahan diri dan dengan nada agak sedikit kesal dia membalas Nat, “Kenapa tidak bilang dari tadi? Kan kita bertiga berhak bersuara! Karena ini perjalanan kita bertiga,” Meskipun nadanya pelan, tapi ada nada amarah di sana, ditambah nafasnya yang agak tersengal. Ia diam saja tanpa membantah. dari sini konflik tertutup dimulai, meskipun masing-masing pihak tidak mengungkapkan secara langsung.

Untuk menghindari menjauh dari tujuan utama, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya pada toko kelontong untuk minta arah ke Wukirsawit, karena dari Wukirsawit ada jalan pintas menuju Goa Maria. Sayangnya penjaga warung itu tidak pernah tahu nama daerah itu. Di tengah kepanikan dan keputusasaan, kami menyebut Tawangmangu. Mendengar kata Tawangmangu barulah penjaga toko ada gambaran. Dia menyarankan kami lewat Carikan. Setelah berjalan sekitar satu jam mengikuti peta yang kami dapat di toko kelontong kami sampai pada daerah yang sepi pemukiman penduduk dan merupakan daerah persawahan. Waktu menunjukkan pukul 13:00. Perut sudah lapar dan kami membutuhkan tempat untuk beristirahat sebentar. Kami bergeser menuju pemukiman warga. Mungkin karena daerah persawahan, rata-rata pintu rumah tertutup dan tidak ada penghuni di rumah. Karena memang kami sudah sangat lapar dan sangat lelah, kami berusaha keras mencari rumah berpenghuni untuk meminta makan.

Di rumah pertama kami ditolak dengan alasan mereka belum masak. logikaku menganalisa “Masa iya jam 12 belum masak? Ini kan sudah waktunya makan siang?” Mengalami penolakan adalah hal yang tidak menyenangkan, apalagi dalam kondisi lapar dan lelah. Efeknya bisa luar biasa: marah, sumpah serapah, semuanya berecamuk di hati. Kami putuskan mundur dan masuk gang lain dan coba rumah kedua yang pintunya terbuka, dan hasilnya sama saja: kami ditolak. Belum masak alasannya. Sedih, marah, kecewa rasanya campur aduk. “Ngapain seh gw ikut peregrinasi dapat capek doang?” Inilah untuk pertama kalinya aku menyesal mengikuti peregrinasi. Putus asa memang, tapi rasa lapar menuntut untuk dipenuhi. Akhirnya kami cari rumah RT sebagai satu-satunya harapan, dan puji Tuhan kami diberi makan meski cuma sayur rebung dan dimasakin telor ceplok, nimatnya luar biasa. Menu makan siang ini adalah menu paling enak sepanjang hidupku. Di luar dugaan, pemilik rumah kedua yang tadi menolak kami datang dan minta maaf karena menolak kami. Ia berniat memberi kami uang. Jelas kami tolak. Akhirnya dia belikan makanan sebagai bekal kami dan untuk menghargai niat si ibu, makanan itu kami ambil dan kami berikan pada si mbah yang kami temui di perjalanan.

Setelah drama penolakan hingga dua kali, perjalananpun kami lanjutkan. Tetapi makan siang dan istirahat sejenak kenyataannya tidak cukup kuat membantu kami berjalan cepat. Lia tetap bisa melejit di depan sementara Nat di belakang berusaha semampu dia, sedangkan aku di belakang mengawal Nat. Terkadang kalau kesel Nat kutinggal tapi tetep kupantau. Hari semakin sore, salib kami hari ini tidak cukup hanya rasa capek, tapi juga kaki yang sudah mati rasa dan betis yang sudah kencang. Tidak berhenti di situ saja, sekitar jam 5 kami dihajar hujan deras dalam perjalanan menuju Waduk Lalung. Kami memutuskan berhenti karena hujan turun sederas-derasnya.

Kami menunggu hujan reda sambil berdiskresi apakah mau lanjut jalan atau mau naik pick-up. Ide ini kulempar ke forum karena aku juga tidak mau ambil keputusan secara sepihak. Agaknya inilah puncak desolasiku. Sebenarya kami sudah sangat putus asa. Kami sempat minta dibikinkan peta di toko kelontong karena tidak yakin kami berjalan terus ke arah mana apakah semakin mendekati tkp atau apa malah menjauhi tkp. Dan di luar dugaan, Lia tetap memutuskan lanjut jalan kaki sampai Waduk Lalung. Dari tempat kami berteduh sekarang, jaraknya kurang lebih 5 km. Aku mencari dukungan Nat, tapi diluar dugaan, Nat bilang ikut saja. “Sial,” pikirku, “Aku kalah suara.” Dari sini aku sudah mulai marah karena aku sudah kedinginan dan kelaparan. ketika hujan sudah agak reda, kami lanjut jalan dengan pakai jas hujan. Tidak ada pembicaraan diantara kami yang hanya terus berjalan.

Seperti biasa, Lia di depan dengan jarak yang agak jauh sementara aku mengawal Nat. Terkdang aku ingetin Lia buat slow ga usah ngoyo, tapi memang yang namanya capek dan ingin buru-buru sampai meski sudah lelah, mungkin itulah yang memotivasi dia sehingga bisa terus semangat. Dalam keadaan hujan dingin, lelah, dan putus asa yang luar biasa, aku kembali merasa desolasi. Inilah puncak desolasi keduaku, dimana aku merasa menyesal ikut peregrinasi. “Kenapa Tuhan kasih aku tim seperti ini? Cewek semua, tidak bisa diajak ngebut? Arghhhhhhh!!! Menyesal ikut peregrinasi!” rutukku dalam hati. Di tengah-tengah break aku lihat Lia basah kuyup, jas hujannya rembes sehingga semua badannya basah, tetapi ia memutuskan untuk tetap lanjut. Akhirnya kuingat kalau aku masih pegang uang dan akhirnya aku beli jas hujan dan kuberikan padanya. Aku khawatir nanti malam dia demam dan besok dia tidak bisa melanjutkan perjalanan, sementara kami masih jauh dan entah berada dimana. Atas pertimbangan itulah aku berani menggunakan duit yang ada. Sekitar jam 6 kami sampai di Waduk Lalung. Hujan masih gerimis dan dalam keadaan kedinginan kami terus berjalan dan kami masih menargetkan bangjo Lalung, baru di sana kami akan cari rumah. Tapi terkadang keinginan yang kuat tak disertai dengan fisik yang sama kuatnya. Setelah dihajar panas siangnya dan hujan sorenya, bahkan pelangi di atas waduk tak bisa memberikan semangat bagi kami, “Istilah pelangi sehabis hujan sudah tak bisa memberikan penghiburan.” Akhirnya kami memutuskan masuk ke perkampungan untuk cari tumpangan. Kondisi kami sudah drop, kedinginan, lapar, dan tubuh menggigil. Di tengah kondisi demikian kami masih berusaha minta tolong di sebuah bengkel untuk mencari tahu dimana posisi kami. Mereka bilang tidak bisa bantu karena tidak ada kuota. “Pelangi memang tak selalu indah,” aku tersenyum getir.

Di tengah keputusasaan, kami memutuskan langsung cari rumah RT karena kami tidak mau mengalami penolakan. Sudah cukup banyak penolakan hari ini. Dengan kondisi tubuh menggigil dan langkah terseok, kami ke rumah pak RT dan mengutarakn niat. Berhubung pak RT sedang keluar, kami diminta menunggu sampai beliau kembali karena istri RT tidak bisa kasih keputusan. Karena sudah lelah dan kaki sudah lecet-lecet, serta tubuh mengigigl, kami putuskan tunggu pak RT dan puji Tuhan kami diberi teh. Lumayan, sebagai penghangat badan yang sudah dihajar hujan sejak tadi. Sekitar 15 menit pak RT datang. “ah…. Tuhan memang baik,” pikirku. Tapi apa benar Tuhan baik? Tunggu dulu! Setelah kami utarakan niat dalam kondisi seperti kucing kecebur got, pak RT hanya mendengar sambil cek-cek hape terus bilang “Tunggu sebentar, saya mau sholat dulu di masjid. Kalian minum dan istirahat saja dulu.” Sumpah serapah, caci maki dan segala aura negatif berkecamuk di kepalaku. “Apa susahnya Cuma kasih tumpangan baru dia pergi sholat?” Setelah balik dari sholat maghrib, dia menginterogasi kami sembari diberi makan: agama kami apa, dari mana, hendak kemana dsb. Intinya dia tidak bisa menampung kami, tapi akan mencarikan tempat warga yang seiman dengan kami. “Tapi nanti setelah saya sholat isya dulu ke masjid.” Dan tiba-tiba lagu Noah melantun di kepala gw “Dan terjadi lagi…”.

Kami pasrah. Paling tidak sudah ada kepastian bahwa malam ini kami dapat tempat untuk tidur itu sudah cukup. Sementara dia sholat, ibu RT kami bajak. Kami pinjem hape untuk googling posisi kami dimana dan berapa jauh lagi kami dari tkp. Sekitar pukul 20.00, kami diantar ke rumah ibu Painem (warga sekitar yang beragama kristen). Di luar dugaan, kami disambut dengan ramah oleh beliau. Kami dipersilahkan masuk, disiapkan cemilan dan disediakan pula kamar dengan dua kasur king size. Paling tidak untuk malam ini gue bisa guling-guling di kasur, pikirku. Ah Tuhan, kami sangat bersyukur bahwa kami ditolak pak RT. “Rencana Tuhan memang indah,” pikirku dalam hati. Hanya Ibu Painem beserta tiga keluarga lainnya yang menganut Kristiani di desa ini.

***

Hari Ke-3

Keesokan paginya kami bangun lebih pagi dan berangkat lebih awal karena hari ini target kami hari harus sampai di Tawangmangu. Pukul 06:00 pagi perjalanan kami mulai, kecepatan kami tingkatkan, tapi apa daya, kondisi fisik sudah sangat lelah terbukti kami hanya mampu berjalan 1km/jam. Kami memang mentargetkan sampai di Tawangmangu paling lambat pukul 15:00, tapi target tinggallah target: kondisi kedua rekanku tidak memungkinkan untuk berjalan cepat. Entah sudah berapa banyak koyo yang dipakai rekanku, bahkan separuh Counterpain-ku habis terpakai, meski mengeluhkan kaki sakit, tapi tetap berjalan di depan bahkan terkadang jaraknya cukup jauh. Sementara Nat meskipun jarang mengeluh dia berusaha mengimbangi kami berdua meskipun dengan kecepatan yang sangat lambat tidak jarang dia jauh tertinggal dibelakang. Aku sendiri mengikuti ritme mereka berdua, tapi Nat yang lebih jadi perhatian utamaku karena dia memang selalu dibelakang, sesekali kuajak dia bercanda dengan cara memanggilnya si mbah karena cara jalan dia yang seperti mbah-mbah sambil kusemangati supaya tetap semangat. Menyemangati Nat sekaligus menyemangati diri sendiri Seandainya saja perjalanan ini hanya ada aku tentu tidak akan selama ini, rasa sombongku mulai muncul. Jam 1 siang kami masuk daerah Sepanjang dengan perut yang mulai lapar, belum lagi rasa lelah yang luar biasa. Kami bertiga berembuk untuk mencari tempat makan cukup lama kami berembuk karena daerah sepanjang adalah daerah wisata, agak sulit kalau kami minta makan disini kami pasti akan ditolak. Masa 3 orang muda-mudi masih segar minta-minta, ku utarakan rasa ketidak setujuanku. Entah knapa aku sangat sulit menanggalkan harga diri meskupun disaat genting seperti saat ini. Setelah berunding cukup lama kami sepakat untuk minta makan diwarung mie ayam yang kondisinya lagi rame pembeli. Tentu saja aku sangat menentang ide gila ini, meski aku lapar, Mengemis didepan orang ramai sama saja mempermalukan diri sendiri pikirku. Sementara mereka mencoba meminta makan aku pergi menjauh dan menghindar aku tidak siap malu kepalaku besar dan muka ini tebal rasanya, dengan rasa pesimis aku hanya berdiri di samping warung dan memantau usaha mereka dari tempatku berdiri. ”Tuhan bekerja memalui cara yang bahkan sama sekali tidak terpikirkan oleh kita”, dalam waktu yang tidak sampai lima menit mereka berhasil dan dipersilahkan duduk didalam.Aku masih tidak percaya dan bahkan ketika mereka memanggilku untuk masuk aku masih enggan.aku tidak kuat melihat tatapan orang-orang sekitar yang melihat kami,sebenarya mereka melihat kami biasa aja tapi karena pikiran negatifku yang dominan maka aku merasa tidak nyaman berlama-lama ditempat itu.Setelah selesai makan dan mengucapkan terima kasih pada yang puya warung  kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Medan semakin berat tanjakan panjang terhampar didepan mata. Lia semakin sering mengeluh sakit, kakinya terkilir terasa sakit kalau dibawa jalan. Untuk mengurangi bebannya kutawarkan diri untu membawa tasnya, tapi dia menolak dengan alasan masih sanggup, semantara Nat dia hanya mengeluh capek dan dia kewalahan mengimbangi ritme kami berdua. Kusemangati mereka agar tetap semangat meskipun aku tahu pasti kondisi mereka sudah sangat lelah.

Sepanjang mata memandang ke depan jalan semakin menanjak, kaki sudah lecet tenaga sudah terkuras waktu menunjukkan jam 14:00 kami memtuskan potong kompas lewat kebun warga untuk menghindari jalan tanjakan. Lia seperti biasa berada paling depan entah knapa meski kakinya sakit dan terkilir dia seperti puya energi baru kalau sudah berjalan, Nat seperti biasa tertatih di belakang dan aku di tengah karena aku juga sudah lelah. Lia aku minta berhenti dan menunggu nat. Melihat kondisi mereka yang sudah kelelahan luar biasa ditambah hari sudah sore dan kami belum tahu tujuan kami masih jauh apa sudah dekat, belum lagi kondisi jalan dengan tanjakan terus aku memberikan opsi Apa masih mungkin lanjut jalan kaki atau menumpang pick up? Lia diam untuk beberapa lama sambil berpikir, dia masih sempat kasih opsi kalau kami tetap lanjut jalan kaki dan menginap satu 1 malam lagi lalu besoknya lanjut. Aku sangat paham karakter Lia dia mau menyelesaikan perjalanan ini tanpa cacat, jalan kaki dari awal sampai akhir baginya pilihan naik pick up sama seperti merusak kesempurnaan perjalanan ini. Rasanya kesal mendengar jawabannya tapi aku berusaha menahan diri untuk tidak langsung meledak. Kondisi kami sudah sangat lelah, meski mau menginap satu malam belum tentu besok kami bisa menyelesaikan rute ini dengan jalan kaki, kumenolak usulnya. Kondisi fisik kami sudah tidak memungkinkan untuk berjalan menapaki tanjakan di depan, tambahku. Aku bertanya pada Nat dia tidak ada penolakan dan setuju untuk menumpang pick up, Lia aku minta berdiskresi dan setelah menunggu agak lama akhirnya dengan rasa berat Lia pun setuju untuk menumpang pick up. Desa Belimbing kec Karang lo jam 15:00 adalah posisi dimana kami memutuskan untuk naik pick up. 15′ menit kemudian kami sampai di Tawangmangu karena ternyata lokasi kami terakhir sudah dekat dengan tapi kondisi jalannya tanjakan sehingga kalau dipaksakan jalan kaki adalah hal yang mustahil.

Sesuai kesepakatan kami hanya naik pick up sampai Tawangmangu, ke Goa Maria tetap berjalan kaki. Kami tidak tahu jalan menuju Goa Maria lebih parah dari jalan yang tadi kami lalui, dan benar saja sewaktu melihat jalurnya kami menertawakan tantangan yang ada di depan kami. Sudah kehabisan rasa putus asa sudah habis selama 2 hari perjalanan. Setelah berdiskresi, kami memutuskan untuk berjalan dan nebeng pick-up jika ada. Keputusan kami memang tepat—tak lama kemudian sebuah pick-up datang dan kami menumpang. Tuhan selalu tahu apa yang kami butuh bukan apa yang kami inginkan, ucapku dalam hati. Kegembiraan ini tidaklah bertahan lama karena tumpangan hanya sampai rumah warga, sementara tujuan masih sekitar satu jam lagi jika ditempuh dengan jalan kaki. Tuhan sedang mempermainkan kami, rutukku dalam hati. Perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki sembari menunggu kalau ada pick up tumpangan lagi. Langit sudah sangat mendung, aku mempercepat jalan kami, meski kutahu mereka sudah lelah, mereka protes karena tidak bisa jalan cepat karena sudah capek ditambah tanjakan tajam. Tuhan tidak pernah main main, Dia tahu apa yang terbaik buat kami dan yang perlu kami lakukan hanya meminta, karena Dia tahu waku yang tepat buat kami karena tak lama kemudian ada pick up lewat, dan kami menumpang sampai Goa Maria. Pukul 17:00 kami sampai Goa Maria dan langsung mengabari PPM bahwa kami akan telat tiba. Tak lama kemudian hujan turun sangat deras awan tebal menyelimuti daerah Goa Maria dinginnya udara sampai ke tulang. Di awal aku masih sempat berpikir akan ada panitia yang menyambut kami di daerah tujuan ah ternyata itu hanya isapan jempol semata, tidak ada sambutan, tidak ada selebrasi, hanya hujan dan Goa Maria yang sepi dan dingin menyambut kami. Setelah bebersih, masing-masing kami doa pribadi dilanjutkan doa rosario dan mengucap syukur untuk perjalanan yang kami lalui. Di tengah sore hari berkabut tebal dan hujan lebat, hanya ada kami yang berdoa di sana.

Perasaanku sesampai goa udah biasa saja, pergumulanku sudah habis sepanjang jalan. Goa Maria hanya bonus dari perjalanan ini, seluruh doa, pergumulan, keluh kesah sudah aku uraikan selama perjalanan 3 hari 2 malam, ucapan syukur yang aku panjatkan di sini tak ada lagi selain itu. Masalah ternyata tidak selesai ketika kami sampai Goa Maria. Kami harus tetap memikirkan cara pulang karena jam sewaktu itu sudah tidak ada angkot turun ke bawah menuju Tawangmangu kecuali carteran, bus terakhir dari Tawangmangu ke Solo adalah jam 5 sempurna sekali penderitaan ini ujurku baru juga mengucap syukur sudah megalami pencobaan lagi.

…Tuhan mencukupkan segalanya, percayalah padaNya…

Sepertinya kutipan ayat ini benar adanya. Buktinya bapak sopir pick-up yang terakhir kami tumpangi menawarkan diri untuk antar sampai Solo. Setelah negosiasi panjang dan memang karena keterbatasan dana kami dapat biaya Rp 130.000 naik pick-up sampai Solo. Kami berencana naik bus dari Solo ke Yogya dengan bapak pick-up mencarikan bus dengan tarif Rp 10.000/orang. Sampai Solo ternyata tidak ada bus bertarif tersebut, mana uang kami sisa Rp 15.000. Mulai panik sempet terpikir untuk ngemis, tapi rahmat Tuhan memang selalu tepat pada waktuNya: di luar dugaan bapak supir pick up memberikan kami duit Rp 10.000 sehingga kami bisa naik bus sampai Di Yogya. Tak henti-hentinya kami mengucap syukur atas rahmat Tuhan dan kebaikan si Bapak. Tiba pukul 21:00 di Janti, Yogya, dan menelepon PPM dengan harapan akan dijemput. Kesabaran kami kembali diuji, jawaban yang kami dapat sungguh di luar dugaan, kami disuruh mencari cara lain untuk kembali ke PPM. Duit hanya tinggal Rp 4000 sementara kami betiga. Udah jam 9 malam, trans di Yogya sudah tidak ada. Kalau pun ada, kami butuh Rp 10.500 untuk 3 orang. Gondok, kesel, benci kembali berkecamuk dipikiran kami bertiga.

Karena memang sudah tidak ada cara lain, akhirnya di bawah guyuran hujan kami berjalan dari Janti sampai PPM sampai pukul 1:30. Sepanjang jalan sungut- sungut dan kutuk tak henti terucap, ditambah harus menjaga dua rekanku. Tapi Tuhan selalu ada cara buat menampar kami; di perempatan Galeria Mall secara tidak sengaja aku melihat bapak-bapak pemulung yang sedang mengumpulkan kardus bekas dan bekas botol minum, mukanya berseri-seri. Dengan tekun dia memilah karton bekas, ga ngeluh meski hujan. Beugh aku serasa di tampar bolak balik, cuma di suruh jalan Janti sampai PPM aja sudah kek mau kiamat.

Kutata hati sebelum sampai PPM. Semua skenario jahat yang tadi sudah tersusun rapi buyar seketika, kumasuki gerbang PPM dengan muka gembira, ditambah sambutan panitia serta ucapan selamat dan peluk hangat dari teman-teman membuatku haru dan senang rasanya kembali ke PPM. Segala kesombongan, ego, dendam kutinggalkan di jalan.

Awalnya aku masih sempet berpikir harus bisa sampai pertama karena aku terlalu pede dengan diriku sendiri dan meremehkan yang lain, nyatanya kami sampai paling akhir, ternyata perigrinasi ini bukan tentang sampai duluan, tentang jalan kaki atau naik angkot, ini mengenai aku dan segala keegoisanku, keterikatanku, ketakutanku, mampukah aku lepas bebas atau selalu tergantung pada semua keterikatan dan ketakutan itu…? Ini adalah tentang proses menemukan rahmat Allah: tentang mencecap cinta Tuhan dan tentang menemukan cinta Tuhan, ikut perigrinasi tidak menjadikan kita suci, kita tetaplah sama seperti manusia lain; yang membedakan adalah pengenalan diri bahwa kita berguna bagi Tuhan dan bagi sesama tidak lagi semata menonjolkan ke-akuan-ku.

#iniziarahbukanpiknik


Sihol Hasudungan

“Change isn’t easy, but it’s part of life. It’s time for us to embrace it again, whether you like it…or not.” adalah kutipan favorit pria Batak ini, yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan jewelry. Di waktu senggang, ia mengisinya dengan traveling dan berolahraga. Mencari arti apa tujuan dia dilahirkan ke dunia dan berguna bagi Tuhan dan bagi sesama adalah motivasinya bergabung dengan formasi maGis 2016.


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *