Dalam keputusasaan, Tuhan hadir

Pembekalan (15 Februari 2017)

Pada tanggal 15 Februari 2017, 19 orang maGis Yogya formasi 2016 dan 4 orang maGis Jakarta diberi pembekalan sebelum menjalani peregrinasi. Pertama-tama, kami menelisik disposisi batin kami: dalam situasi seperti apakah diriku saat ini, apa yang sudah ku pelajari tentang diriku selama ini di Magis, apa issue pribadiku, dan apa intensi peregrinasiku.

Peregrinasi atau pilgrimage adalah peziarahan batin melalui fisik/badan (pembadanan) untuk mengalami Allah. Karena mengalami berbeda dengan mengetahui. Sikap batin yang diperlukan adalah mengandalkan Allah secara total (disengaja), melepas rasa aman dan nyaman. Sarananya: berjalan kaki dari titik A ke B. Perjalanan ini bukan rekreasi, jadi sifatnya personal, hening, menghadapi bukan lari, jurnaling. Allah akan mendidik ku secara personal sesuai issue pribadi ku, maka intensikanlah.

 

Sikap yang diperlukan dalam menjalani peregrinasi adalah proaktif untuk selalu membangun komitmen peregrinasi. Karena kita tidak hanya berhadapan dengan diri sendiri tetapi juga dengan teman seperjalanan. Perlu keterbukaan dan kebijaksanaan. Pasti akan ada godaan dalam perjalanan, disitulah discernment diperlukan, untuk memilih yang lebih baik (lebih memuliakan Tuhan).

 

God has not called us to be success but to be faithful (beriman). Itulah kata-kata yang selalu diingatkan oleh romo John. Saat kita membuat komitmen, tantangan akan selalu muncul. Kalau tidak membuat komitmen, tidak akan ada tantangan. Kita harus menghadapi tantangan itu, karena tantangan itu adalah pertumbuhan kita.

 

Inilah kalimat singkat yang dapat dengan mudah diingat selama peregrinasi: SersanPolisi (Serius santai Pokoknya lihat situasi). Yang berarti: hening, menerima perasaan apa adanya; membangun harapan: aku mau menjalani, ku mau dibentuk; mempersembahkan diri; membiarkan Allah bekerja.

 

Lalu kami berkumpul sesuai kelompok peregrinasi yang ditentukan, dan secara terbuka mensharingkan apa ketakutan, kekuatan, dan harapan kami. Yang membuatku kagum adalah saat kami diperkenankan melihat kertas-kertas yang bertuliskan ketakutan, kekuatan dan harapan dari teman-teman yang lain. Itu seketika menguatkanku.

 

Peregrinasi (16-18 Februari 2017)

 

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku mendapatkan 2 teman seperjalanan: Shinta dan mas Candra (aku dibesarkan di Bandung, Shinta dibesarkan di Lampung, mas Candra dibesarkan di Yogyakarta  #berbedaitubiasa ). Kami akan berjalan 64 km dari Kecamatan Patuk, Gunung Kidul sampai Goa Maria Sendang Ratu Kenya, Wonogiri. Tanpa alat komunikasi dan uang. Dengan membawa 1 pasang pakaian, jas hujan, 1 botol minum, P3K, peralatan pribadi secukupnya dalam tas (ini sudah kami sepakati, ceritanya kami mau kompakan). Sebelum berangkat, kami membuat beberapa kesepakatan tentang siapa koordinator, pencari makan & minum, pencari tempat penginapan di hari pertama, kedua dan ketiga. Agar kami sama-sama merasakan pengalaman memimpin dan dipimpin.

Inilah motto kami: “Berani Menyelami Cinta Tuhan” , yeah!

 

– Cinta dimulai dari rumah –

Bis berhenti di Kecamatan Patuk. Saatnya kami berjalan. Target kami di hari pertama adalah Polres Wonosari. Hari  itu panas terik. Asap kendaraan berkali-kali langsung ku hirup tanpa filter tangan. Kusadari bahwa asap kendaraan ini adalah bukti bahwa Tuhan sangat mementingkan manusia. Diciptakan-Nya lapisan ozon, tumbuhan, dan minyak dibawah bumi sana. Asap (CO2) yang berlebihan dapat merusak lapisan ozon, tapi asap juga akan diserap tumbuhan untuk fotosintesis. Asap adalah bukti bahwa manusia dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus berjalan kaki, membuat supir bisa dapat nafkah hari itu. Semua disediakan Tuhan untuk manusia. Setelah menciptakan bumi beserta isinya dan juga manusia, Tuhan tidak ongkang-ongkang kaki. Ia memelihara ciptaan-Nya. Tunas ditumbuhkan-Nya menjadi pohon, bunga-bunga bermekaran. Oh Tuhan, terima kasih untuk setiap detail kasih-Mu.

 

Berjalan di Gunung Kidul ini serasa mengenang kembali ketegangan dan kebahagiaan saat liburan bersama keluargaku di bulan Desember 2016 ke Siyono, Gunung Kidul. Aku sangat merindukan mereka sebagaimana mereka apa adanya. Mengingatkan ku pada kata-kata kata-kata mother Theresa: “Cinta dimulai dari rumah”.

 

Air minum kami habis. Rasa gengsiku bergejolak untuk meminta minum, karena saat minta minum, aku tidak meminta 1 tapi 3 botol. Diperlukan kerendahan hati dan melepas segala topeng keangkuhan. Puji Tuhan mbah yang kami mintai langsung mau memberikan minum, malah mau menyuguhkan gorengan juga, tapi langsung kami tolak dengan halus.

 

Aku mulai tertinggal jauh dari teman-temanku. Kakiku kapalan dan aku sangat lelah. Aku tak mampu mengejar mereka. Lalu saat melewati Siyono, Gunung Kidul, sungguh menakjubkan: Aku bertemu dengan Om dan sepupuku! Di antara ribuan orang yang lewat siyono setiap hari, mereka mengenaliku! Sungguh perjumpaan yang mengharukan dan menghibur. Om ku menawariku tumpangan, makanan, uang, namun semuanya kutolak dengan halus.

 

Jam 5 sore kami mencari penginapan. Kakiku sangat sakit. Ah, aku tak pernah lupa dengan rasa teh yang perfecto excelento yang disuguhkan Bu Emy, suguhan yang disajikan, dan kehangatan pertetanggaan disana. Sampai akhirnya ada pak Tukiran yang mau menerima kami di rumahnya walaupun rumahnya sedang dipenuhi panenan padi dan kacang. Kami tidur ber-4 di 1 kamar. Mereka menjamu kami dengan semua makanan yang mereka punya, dan secara terbuka bercerita. Dari cerita itu, kami jadi tahu bahwa sebenarnya mereka pas-pasan. Oh Tuhan, mereka tulus memberi dari kekurangan tanpa memikirkan lebih jauh untuk diri mereka sendiri kepada kami 3 orang asing.

 

– Saat putus asa, Tuhan hadir –

Di hari ke-2, target kami adalah Pracimantoro, Wonogiri. Siang itu, aku merasakan sakit di area rahimku. “OMG, penyakit turun perut ini muncul!” kataku dalam hati. Kucoba terus berjalan, dan rasa sakitnya semakin terasa. Penyakit ini muncul saat tubuhku terlalu cape. Biasanya aku perlu bed rest 1-3 hari dan pemijatan. Aku menjadi kesal dengan perjalanan ini dan tak mampu berpikir jernih. Mengapa sih kami harus berjalan 64 km, jika 20 km di hari pertama saja aku sudah menemukan Tuhan. Mobil katana biru metalik seperti mobilnya romo John yang lewat seperti mau bilang: don’t give up.

 

Aku sangat kesakitan. Rasanya seperti melilit di area rahim dan mau melahirkan. Aku terima rasa sakit ini, dan menyatukannya dengan penderitaan Yesus di salib. Karena sudah tak kuat berjalan, ku rebahkan diriku di dipan. Aku berdoa: Tuhan, aku sakit… Tolong sembuhkan aku. Namun disaat yang sama aku juga yakin bahwa aku tak akan sembuh hari itu, karena berkaca dari pengalaman yang lalu dimana aku butuh minimal seharian bed rest. Aku sangat merasa tidak enak pada teman seperjalananku. Aku mengacaukan perjalanan ini. Namun aku tak berdaya mengendalikan situasi ini.

 

Kami bertiga berdiscerment. Aku memilih untuk pulang ke Kota Baru dan meminta mereka melanjutkan peregrinasi ini berdua. Namun mereka tidak mau. Aku memilih untuk beristirahat dulu lalu nanti naik omprengan ke Pracimantoro dan meminta mereka untuk berjalan ke Pracimantoro lalu kami bisa berjalan normal lagi. Namun mereka pun tak mau. Mereka ingin kami selalu bertiga kemanapun, meskipun itu harus pulang ke Kota Baru. Namun aku yang tak mau. Aku tak mau menghancurkan harapan peregrinasi mereka. Karena tidak mencapai kata sepakat, tiba-tiba Shinta bilang, bagaimana kalau kita makan dulu.

 

Kami berjalan ke rumah terdekat. Dengan hangat, Pak Tasik mempersilakan kami masuk, memberi kami nasi, sayur, gorengan, peyek, minuman dingin, dan syrup ABC. Kulihat mata kami bertiga berkaca-kaca untuk semua kebaikan yang kami terima. Melihat aku yang pucat dan sakit, pak Tasik memberi bantal. Setelah makan, aku masih kesakitan. Sakit itu menderaku setiap detik. Aku bilang sama Tuhan: Tuhan, maafkan aku, aku tak sanggup lagi, aku mau pulang, nanti aku telpon romo John. Setelah makan, mas Candra berbincang dengan Pak Tasik. Shinta mencuci piring, sambil menceritakan sakitku pada kluarga pak Tasik. Aku tiduran. Lalu ada seorang mbah Putri (kakanya pak Tasik) yang menghampiriku dan bilang mau memijatku. Aku pasrah, karena tidak dipijit ataupun dipijit, aku tetap merasakan sakit. Mbah memijatku dengan selalu tersenyum, padahal aku meringis kesakitan. Dan AMAZING! Setelah dipijit, aku merasa 70% sakitku hilang! Dan aku bisa bilang: aku bisa berjalan lagi! Lalu mbah itu memberi kami uang, gorengan dan peyek yang harusnya dijual, kepada kami. Lalu kami tolak dengan halus. Oh Tuhan, kebaikan-Mu sungguh luber kepada kami.

 

Pengalaman ini sungguh berarti untukku. Kepercayaanku pada Tuhan diselidiki. Aku yang bilang: Tuhan, tolong sembuhkan aku. Namun di saat yang sama tidak percaya bahwa Tuhan bisa melakukan apa saja. Ketidakpercayaanku ini dipatahkan. Tuhan menyiramku dengan kuasa-Nya. Ya Tuhan, ampuni aku, orang berdosa dan kurang percaya ini… Kuingat wajah mbah itu yang selalu tersenyum saat memijatku. Seakan Tuhan mau bilang: Tenang anak-Ku, aku akan menyembuhkanmu. Tuhan berkarya lewat cara-Nya yang amazing. Saat aku putus asa, Tuhan hadir. Pikiranku menjadi plong dan hanya ingin menikmati setiap detik kasih karunia Tuhan lewat orang dan alam yang kujumpai.

Kami melanjutkan perjalanan dengan speed yang lambat karena aku baru saja pulih, supaya tidak kambuh lagi. Shinta & mas Candra mencarikanku tongkat untuk membantuku berjalan. Di tengah perjalanan, Shinta menggendong tasku, agar aku bisa berjalan lebih cepat. Dengan speed kami yang lambat ini dan kebaikan-kebaikan Tuhan yang sudah tercurah untuk kami, kami semakin bersemangat dan juga legowo sampai manapun besok siang kami berjalan. Kami senang sudah bisa menjalani peregrinasi ini. Teman-temanku ini seperti malaikat yang diutus Tuhan menemani peregrinasiku. Mereka mengingatkanku pada doa Santo Fransiskus dari Asisi: semoga aku lebih suka menghibur daripada dihibur, mengerti daripada dimengerti, mengasihi daripada dikasihi, sebab dengan memberi aku menerima. (Sing: make me a channel of your peace….)

 

Jam 5 sore kami sampai di wonogiri lalu mencari penginapan. Kami diterima dengan hangatnya di rumah Pak Wahyudi, keluarga muslim. Dia berkata: saya tidak masalah dengan profesi, agama atau suku kalian. Saya hanya ingin menolong demi kemanusiaan. Oh Tuhan, semoga semakin banyak orang-orang seperti Pak Wahyudi ini. Kami diberi makan malam, hot in cream, makan pagi.

 

– Rencana Tuhan indah –

Di hari ke-3, target kami adalah Goa Maria. Aku dan teman-temanku sangat bersemangat.

 

Dari perempatan Pracimantoro, kami belok kiri mengambil rute yang ditunjukkan oleh temannya Pak Wahyudi. (Rute yang diberikan Magis lurus. Itu adalah jalan yang rusak berat dan sedang diperbaiki). Rute ini tak kalah jauhnya. Kami melewati desa Banaran yang tak berujung. Dikiri kanan pemandangan sawah padi yang menguning yang siap dipanen. Semua petani tersenyum dan dengan hangat menyapa kami. Melihat jalanku yang lambat seperti siput dan sambil memegang perut, ada seorang ibu yang menghampiri dan bertanya-tanya lalu berkata: “Sing diparengi sabar, Gusti… Jalannya pelan-pelan saja, nak…” itu sungguh menguatkanku dan menyemangatiku untuk mencapai Goa Maria.

 

Sekitar jam 1 siang, aku percaya tak percaya bahwa kami sampai di Goa Maria Sendang Ratu Kenya, Hati Ibu yang Bahagia. “Ya Ibu, kami juga bahagia…”, kukatakan dalam hati. Ini pasti karya Tuhan, sehingga kami bisa sampai. Kami minum dari mata air disana, lalu pulang naik bis. Bis itu melewati jalan yang kami lalui saat berjalan. Rasa syukur yang tak terkira. Perjalanan ini tak kan terlupa.

 

Kami sampai Kota Baru jam 9.30 malam. Kami disambut dengan pelukan dari panitia, minum air jahe, kaki kami direndam di air hangat yang berisi garam dan asem dan dipijit oleh panitia. Oh, sungguh tak dapat ditulis dengan kata-kata perasaan yang terjadi. Karena dalam rasa, Tuhan hadir.

 

Pengendapan (19 Februari 2017)

Kami silentium sambil jurnaling. Menulis buah-buah refleksi dalam bentuk surat kepada pribadi yang paling dekat denganku, lalu membuat niat-niat konkret. Menyadari apa yang ingin Tuhan bilang, lewat rasa dominanku saat peregrinasi.

 

Beberapa kelompok sharing tentang pengalaman peregrinasinya. Kurasakan Tuhan sungguh baik dan berkarya secara personal untuk setiap pribadi.

 

Tuhan tak henti-hentinya menyentuh kami. Kali ini Tuhan menyentuh kami lewat manajemen konflik. Konflik itu manusiawi. Karena setiap pribadi unik dan berbeda. Konflik adalah sarana berkembang. Kita hidup bersama orang lain pasti ada konflik. Kisah peregrinasi ini bukan hanya kisah yang indah tapi juga kesal, marah, jengkel, tidak diterima. Rasa cape dan sakit akan menyingkap topeng dan menunjukan keaslian diriku. Bukalah topeng… meski menyakitkan. Karena kerinduan setiap orang adalah diterima apa adanya, sebagaimana aku ada. Pada dasarnya, tak ada satupun yang mau melukai yang lain.

 

Saat aku, Shinta dan mas Candra mengungkapkan perasaannya, yang lain rendah hati mendengarkan, memahami, menerima apa adanya. Disitu terlintas memori-memori perjalanan kami. Aku jadi memahami apa yang mereka rasakan saat itu. Setelah itu kami saling meminta maaf dan memaafkan. Tetesan air mata berhamburan. Aku bersyukur atas pengalaman ini, Tuhan berkarya dalam perjalanan ini, dalam kami bertiga. Kami berpelukan lalu berdoa bersama. Aku mendoakan Shinta dan mas Candra, begitupun mereka, sebagai bentuk rekonsiliasi kami.

 

Kesombongan berarti mengandalkan diri sendiri, rendah hati berarti mengandalkan Allah. Ini perkataan romo John yang sangat kusuka:  100% usaha manusia, 100% rahmat Allah.

Terimakasih Tuhan, terimakasih maGis Yogya.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *